MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT BALI TERHADAP PENGENDALIAN PENCEMARAN  DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN  
DI  BALI 
Oleh : Dr.Ketut Gede Dharma Putra
1. Pendahuluan
Salah satu kebijakan pemerintah  di Bali  tentang upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup adalah dengan dihasilkannya Peraturan Daerah  Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian  Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Walaupun waktunya relatif sangat terlambat, yakni bila dibandingkan dengan komitmen pemerintah pusat dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dilandasi  oleh Undang-undang No 23 Tahun 1997, namun penetapan Perda ini dapat diartikan bahwa memang telah dirasakan adanya degradasi kualitas lingkungan hidup di Bali.
Diraihnya penghargaan bidang lingkungan hidup oleh beberapa kota/kabupaten di Bali sangat ironis bila dibandingkan dengan fakta-fakta yang menunjukan terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan hidup di beberapa wilayah Bali. Dengan tidak mengurangi apresiasi atas kerja keras  pihak-pihak yang terkait dengan penghargaan lingkungan hidup tersebut, harus disadari secara jujur bahwa kondisi lingkungan di Bali, khususnya di kawasan perkotaan dan pemukiman sangat jelek. Sampah berserakan dimana-mana, got-got masih banyak yang tersumbat dan menimbulkan bau yang tidak sedap, debu beterbangan  di areal terbuka dan pasar-pasar tradisional kelihatan kumuh dan jorok. Hal tersebut sangat mudah  untuk dilihat, dan sangat bertentangan dengan pemberitaan di media massa tentang  kebanggaan dan penyambutan trofi adipura oleh aparat pemerintah.
 
2. Pencemaran Lingkungan A,B,C
Tidak sukar untuk meyakini kebenaran hipotesis tentang telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup  di Bali. Pencemaran lingkungan Abiotik telah dilaporkan secara berkala dalam bentuk status kualitas lingkungan oleh Bapedalda Bali. Sangat jelas adanya trend peningkatan parameter pencemaran lingkungan Abiotik ( fisik dan kimiawi) baik di  kawasan perairan yang meliputi sumur, sungai, danau, dan laut maupun pencemaran udara khususnya di kawasan perkotaan. Disamping meningkatnya zat-zat kimia tertentu yang menyebabkan kesuburan tanah di kawasan pertanian dan perkebunan semakin menurun. Studi tentang analisis resiko lingkungan yang dilakukan oleh program kerjasama manajemen lingkungan untuk kawasan laut di Asia Timur (PEMSEA)  tahun 2001 sangat jelas melaporkan adanya resiko yang harus diwaspadai akan mempengaruhi kesehatan masyarakat Bali, khususnya wilayah Bali Tenggara  akibat tingginya pencemaran lingkungan untuk parameter-parameter kunci tertentu yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Pencemaran lingkungan Biotik (B) di Bali dapat dibuktikan dengan semakin menurunnya keragaman jenis beberapa flora dan fauna penting di pulau Bali. Bahkan, satwa yang sebelumnya keberadaanya merupakan kebanggaan  Bali seperti Jalak Putih, Penyu Hijau, atau Burung Madu Kuning  semakin berkurang populasinya. Para petani di daerah pedesaan semakin sukar untuk dapat menikmati binatang-binatang tertentu yang dulu merupakan makanan favorit yang didapatkan dari daerah persawahan. Pencemaran lingkungan bahkan sudah merambah kawasan bawah laut yang menjadi tempat hidup terumbu karang dengan ikan warna warni yang indah. Peningkatan parameter pencemar seperti  partikel padat, senyawa nitrogen, senyawa fosfat, pestisida, dan berkurangnya  suplay oksigen telah mengganggu kehidupan di sebagian besar kawasan di Bali. 
Walaupun relatif belum tersedia data yang meyakinkan, namun terjadinya pencemaran Lingkungan C ( Kultural/Kebudayaan) di Bali  dapat dilihat dengan suatu hipotesis adanya perubahan  pada nilai-nilai, norma-norma dan perilaku manusia Bali. Telah terjadi stagnasi pada  kemunculan ide, gagasan cemerlang yang dapat memperbaiki kualitas kehidupan bermasyarakat. Wujud kebudayaan sebagai hasil karya masyarakat Bali saat ini, dirasakan belum mampu menyamai hasil karya orang Bali pada puluhan-ratusan tahun kebelakang. Belum ada bangunan pura yang mampu menyerupai keunggulan yang dimiliki Pura Besakih, Pura Batur dan bangunan-bangunan lainnya yang dihasilkan dari gagasan cemerlang dalam tataran konsepsi. Dalam beberapa pemberitaan di media, ditemukan peningkatan kondisi degradasi moral di dalam masyarakat  dengan peningkatan kejadian perkelahian pelajar, perselingkuhan, tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas,  dan  fakta-fakta lainnya yang mengindikasikan telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan C. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya displin dan  etos kerja, peningkatan penindasan kepada yang lemah, arogansi kekuasaan, dan pengambilan keputusan yang tergesa-gesa, semakin menunjukan indikasi adanya trend peningkatan pencemaran lingkungan C setiap tahunnya.
3. Penyebab Masalah 
Tidak dapat dipungkiri, aktivitas manusia merupakan penyebab utama kerusakan dan pencemaran lingkungan. Homer–Dixon (dalam Mitchell, 2000) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan dengan tiga cara yakni: Pertama, penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumber daya  dieksploitasi dengan tingkat kecepatan  yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah, hutan, air  dan sumber daya yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian sumber daya per orang semakin berkurang. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang yang disebabkan oleh pranata hukum serta hak  kepemilikan  yang terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat/lembaga. Terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu kawasan menyebabkan terjadinya akumulasi permasalahan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan kehidupan manusia.
Pertumbuhan penduduk Bali selama sepuluh tahun terakhir ( 1990-2000) sebesar 1.19 % per tahun  mengalami peningkatan  di bandingkan laju pertumbuhan penduduk sepuluh tahun sebelumnya ( 1980-1990) yakni sebesar 1,08 % ( Bappeda Bali, 2001). Perkiraan pertambahan penduduk pada dekade berikutnya ( 2000-2010) akan memberikan tekanan yang sangat besar pada pencemaran Lingkungan A,B,C di Bali apabila tidak dilakukan suatu strategi yang tepat untuk mengatasinya.
4. Kondisi Kekinian
Hingga kini,sungguh sebuah ironi telah terjadi di pulau Dewata karena belum adanya suatu sistem pengendalian pencemaran lingkungan (A,B,C) yang benar-benar efektif dilakukan di Bali. Pencemaran lingkungan Abiotik tidak mungkin dicegah apabila di Bali belum ada sistem pengolahan limbah yang terpadu. Parameter kunci pencemaran lingkungan A ini seperti Biological Oxygn Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD),senyawa nitrat, senyawa fosfat, pestisida, dan lain lainnya) tidak mungkin dapat dikendalikan apabila tidak ada sistem pengolahan sampah yang terpadu dan holistik menangani peningkatan sampah di Bali. Penanganan sampah yang dilakukan sampai saat ini hanya memindahkan sampah dari satu tempat ( rumah, kantor,hotel, pasar) ke tempat penampungan sampah di suatu tempat. Apabila tidak dilakukan pengolahan, maka sampah tersebut tentu  suatu saat akan melebihi kapasitas, dan permasalahan pencemaran pun tidak dapat teratasi. 
Pencemaran Lingkungan Biotik selain diakibatkan oleh parameter fisik dan kimia, juga ditunjukan dengan peningkatan bakteri patogen di wilayah perairan ( darat dan laut). Hal ini tidak mungkin dicegah apabila di Bali belum ada sistem pengolahan limbah cair yang terpadu dan holistik yang mampu mengatasi limbah cair baik  dari aktivitas domestik dan industri (terutama pariwisata). Limbah cair yang berasal dari aktivitas manusia (makan,  mandi,cuci,kakus) hanya berpindah dari sumbernya langsung menuju ke lingkungan. Sehingga daya dukung lingkungan  pasti akan terganggu apabila tidak dilakukan  pengelolaan yang jitu.
Tidak mungkin dapat dihasilkan gagasan, ide-ide, maupun karya cipta  masyarakat Bali yang monumental apabila Lingkungan Culture mengalami pencemaran. Penurunan kenyamanan hidup akibat ketersediaan air bersih yang terbatas, sanitasi lingkungan yang rendah dengan ketakutan pada berjangkitnya berbagai macam penyakit (demam berdarah, polio, cacar, hingga HIV/AIDs), sistem transportasi ( darat, laut dan udara) yang semakin membingungkan dan  menakutkan, selain akibat peningkatan biaya operasional, kemacetan, kecelakaan, maupun ketidak pastian pada waktu yang diperlukan. Keterbatasan energi ( bahan bakar minyak, listrik, gas) menyebabkan rendahnya motivasi untuk melakukan inovasi yang  memunculkan karya cipta yang adi luhung. Ketidakpastian hukum, penindasan bagi yang lemah, strata kelas sosial, orientasi hidup yang tidak benar menimbulkan keadaan stagnan dalam pemunculan ide-ide orisinal sehingga lebih banyak dilakukan duplikasi dari para pendahulu.
5. Pendekatan Kultural dalam Mengatasi Pencemaran Lingkungan
            Sekalipun  sangat terlambat, Perda  Nomor 4 Tahun 2005 memberikan angin segar akan adanya upaya agar teratasinya masalah pencemaran lingkungan di Bali. Dijelaskan dalam perda tersebut, bahwa  faktor utama penyebab pencemaran lingkungan di Bali adalah faktor manusia. Oleh karena itu, pendekatan yang perlu dilakukan,  khusus untuk wilayah Bali yang memiliki  identitas kultural yang spesifik, adalah pendekatan kultural. 
Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah  selalu menekankan pada  tiga pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan pendekatan ekonomi. Ketiga pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang mendasar, selain belum  diimplementasikannya  ketiga pendekatan tersebut secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pencemaran lingkungan di beberapa wilayah di Bali khususnya, terlebih-lebih di beberapa wilayah Indonesia.
            Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau  kecil dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan  memiliki kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan kepercayaan mengelola  sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan berbudaya. 
            Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan dalam hidup ( tri hita karana)  sangat selaras dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Apabila didapatkan  kemandirian dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup di Bali  diyakini dapat membiayai  potensi pencemaran lingkungan  hidup yang terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang mengedepankan nilai-nilai kearifan  lokal, dapat dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. 
             Membangun kesadaran masyarakat Bali terhadap  upaya menyelamatkan masa depan Bali dengan mulai mengurangi pencemaran lingkungan hidup di Bali  adalah tugas yang harus dilakukan semua penduduk Bali. Salah satu yang dapat dilaksanakan adalah dengan menerapkan  konsep 3-R ( Reduce, Reuse, Recycling) dalam semua segi kehidupan  masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan  dalam semua hal mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, maupun ritual. 
          Pendekatan kultural untuk membangun kesadaran masyarakat Bali  dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali sangat efektif  dengan mulai menawarkannya dalam kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi ( Reduce) pemanfaatan sumber daya dalam aktivitas ritual. Lebih banyak meningkatkan pemahaman  terhadap esensi sradha agama, dalam pencapaian kesempurnaan rohani. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan, perlu diupayakan untuk pemanfaatan kembali (Reuse) sarana upakara yang masih mungkin digunakan kembali. Dan kalau memungkinkan, upaya daur ulang sarana upakara tersebut merupakan langkah yang sangat  tepat dalam rangka pelestarian sumber daya alam. 
          Potensi kerusakan lingkungan di Bali akan  sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah  mengabaikan pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan ekonomi semata.***
Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup FMIPA Universitas Udayana
             Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali.  Tel. 0361-7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar