Rabu, 11 November 2009

STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

(INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT/ICM)

DALAM PENGELOLAAN PANTAI DI BALI

Oleh : Dr. K.G.Dharma Putra,M.Sc

Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) – Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.

1. Pendahuluan

Dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan guna tercapainya sasaran pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan, sejak tahun 2000 Pemerintah Propinsi Bali bekerja sama dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) dalam Program Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses dinamis di dalam mana suatu strategi terkoordinasi dikembangkan dan diimplementasikan dalam rangka alokasi lingkungan, sosial budaya dan sumberdaya kelembagaan untuk mencapai sasaran konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir multi-guna yang berkelanjutan. Proyek Demonstrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu di Bali dimaksudkan untuk membantu dan membangun kapasitas daerah, baik pemerintah maupun pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), dalam melindungi dan mengelola lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir Bali.

Bersamaan dengan dipilihnya Bali sebagai lokasi demonstrasi pelaksanaan ICM di Indonesia, kegiatan pengamanan Pantai Bali yang dikenal dengan Bali Beach Conservation Project (BBCP) sedang dalam proses pelaksanaannya. Proyek yang terdiri atas Pekerjaan Perlindungan Pura Tanah Lot dan tiga pekerjaan konservasi pantai di Sanur, Nusa Dua dan Kuta sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Bali. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, sejak tahun 2000 hingga tahun 2008, pelaksanaan kegiatan pengamanan pantai Bali telah memberikan pengalaman yang berharga dalam melaksanakan suatu program pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir dan laut secara terpadu. Secara konsisten kegiatan BBCP telah mengimplementasikan pendekatan ICM dalam mendekatkan jarak antara program pemerintah dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

2. Siklus Pengembangan ICM

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ ICM) adalah pendekatan pengelolaan wilayah yang memiliki mekanisme keterpaduan program diawali dengan melakukan: (1)persiapan, (2)inisiasi, (3)pengembangan, (4)adopsi, (5)implementasi, dan(6) penyempurnaan dan konsolidasi, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan siklus yang baru seperti terlihat dalam Gambar 1.

Provinsi Bali yang telah ditunjuk oleh GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) memulai siklus ICM pada tahun 2000 dengan ditetapkannya sebuah tim lintas sektor dibantu oleh ahli dari perguruan tinggi untuk melakukan persiapan awal berupa identifikasi profil wilayah pesisir Bali Tenggara. Dalam mempersiapkan siklus ICM di Provinsi Bali, Bapedalda Bali( sekarang Badan Lingkungan Hidup ) sebagai lembaga yang dijadikan PMO (Project Management Office) sudah menyusun beberapa kegiatan yang mengikuti siklus ICM diantaranya pembentukan tim teknis ICM melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 342 tahun 2000 yang bertugas melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir di Bali sesuai dengan mekanisme ICM.

Beberapa kegiatan yang sudah dihasilkan adalah penyusunan dokumen Profil Wilayah Pesisir Bali Tenggara yang berisi potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut di wilayah Bali bagian Tenggara, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Bali Tenggara, Analisis Resiko Lingkungan Hidup, Zonasi Kawasan Teluk Benoa, serta beberapa kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan beberapa hasill dari kegiatan ICM tersebut, diharapkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Bali dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan.




Gambar 6.3

Siklus Pengembangan dan Implementasi ICM

( Sumber: Bapedalda Bali,2004)

Gambar 1. Siklus ICM

Dalam melaksanakan pendekatan ICM di Bali telah dapat diidentifikasi adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Dampak yang terjadi dari konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut telah menimbulkan keresahan masyarakat akibat terdesaknya akses masyarakat yang secara historis telah secara turun temurun menggantungkan penghidupannya di pantai serta tertutupnya akses ke pantai/laut yang dapat menghambat kelancaran masyarakat dalam melangsungkan upacara keagamaan di pantai. Dampak ini umumnya muncul karena konflik pemanfaatan ruang pantai antara beberapa aktivitas dengan kegiatan masyarakat lokal di daerah pesisir.

Kaitan antara beberapa aktivitas di wilayah pesisir dan laut yang bercampur aduk menjadi satu jaring-jaring konflik yang memberikan dampak berkelanjutan. Dari beberapa kegiatan yang ada di kawasan pesisir dan laut dapat dibuatkan suatu bagan gambaran dari hubungan antar kegiatan yang menimbulkan konflik pemanfaatan kawasan tersebut, seperti terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2

Konflik Kepentingan di Kawasan Pesisir dan Laut

3. Permasalahan Utama di Wilayah Pesisir dan Laut Bali

Pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut yang sangat beragam telah menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang secara umum dapat dibagi atas dua kategori yaitu (a) permasalahan yang berasal dari dalam wilayah pesisir dan laut itu sendiri sebagai akibat dari pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, dan (b) permasalahan yang timbul akibat kegiatan di luar wilayah pesisir dan laut yang langsung atau tidak langsung berdampak terhadap proses dan sistem wilayah pesisir.

Beberapa permasalahan lingkungan yang utama di wilayah pesisir dan laut di Propinsi Bali, sebagai akibat kegiatan pembangunan dan pemanfaatan langsung ruang dan sumberdaya serta jasa-jasa lingkungan pesisir/laut antara lain :

3.1 Penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya alam, akibat pemanfaatan yang destruktif dan eksploitasi berlebih.

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di daerah Bali telah mencapai 430 % dari potensi lestarinya sedangkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan Propinsi Bali mencapai 100,37% dari potensi lestari dan khusus di wilayah perairan tenggara Pulau Bali tingkat pemanfaatannya sudah mencapai 124,52% dari potensi lestari. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya ikan karang dan ikan pelagis. Kalau hal ini berlangsung terus maka akan terjadi penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan.

Penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan di wilayah pesisir Pulau Bali juga disebabkan oleh praktek-praktek penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal, seperti pengeboman ikan yang masih belum teratasi serta penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan beracun (potassium sianida).

3.2 Penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran dari berbagai jenis kegiatan di daratan dan di laut.

Pariwisata merupakan sektor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah Bali. Dalam hal ini wilayah pesisir dan laut menjadi andalan dalam pembangunan pariwisata di Bali, baik sebagai penyedia sarana maupun sebagai obyek wisata. Mengingat pariwisata mempunyai muatan lingkungan yang tinggi, artinya dibutuhkan kualitas lingkungan yang prima, maka masalah-masalah penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran sangat mengancam keberlanjutan fungsi dan manfaat wilayah pesisir dalam menunjang pembangunan pariwisata. Begitu juga halnya dengan pembangunan sektor perikanan, dimana kualitas lingkungan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutannya.

Perairan pesisir Pulau Bali dewasa ini telah menunjukkan indikasi adanya pencemaran bahan organik dan eutrofikasi. Demikian juga halnya dengan kontaminasi bakteri E. coliform sudah cukup tinggi di beberapa kawasan pantai terutama yang dekat dengan muara sungai.

3.3 Kerusakan habitat dan ekosistem wilayah pesisir.

Ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun di wilayah pesisir Pulau Bali mendapatkan tekanan-tekanan akibat pembangunan dan aktivitas manusia lainnya. Terumbu karang yang menjadi aset penting pengembangan pariwisata bahari di Bali cenderung mengalami peningkatan kerusakan akibat aktivitas pariwisata bahari yang tidak terkontrol dengan baik dan praktek-praktek penangkapan ikan ilegal. Hutan mangrove di Teluk Benoa yang merupakan paru-paru kota, semakin terdesak oleh tuntutan lahan untuk berbagai penggunaan lain, seperti pengembangan bandara, pengembangan pusat-pusat bisnis, pemukiman dan lain-lain. Padang lamun yang juga merupakan habitat kritis di wilayah pesisir, yang mempunyai nilai ekologis yang sangat strategis telah banyak mengalami alterasi dan pengikisan akibat reklamasi dan pengembangan budidaya rumput laut. Kerusakan habitat-habitat tersebut mempunyai implikasi terhadap penurunan nilai produksi dan nilai rekreasi/pariwisata dan nilai konservasi ekosistem-ekosistem tersebut.

3.4 Kerusakan fisik pantai akibat erosi.

Erosi pantai merupakan masalah yang paling menonjol terjadi di wilayah pesisir Bali secara keseluruhan. Erosi pantai terjadi hampir di seluruh kawasan pantai di Bali dengan laju yang berbeda-beda dan pantai-pantai menjadi kawasan pariwisata telah mengalami erosi yang paling parah, seperti pantai Sanur, Candidasa, Nusa Dua dan Kuta. Pantai-pantai wisata yang mengalami erosi tersebut selain menurunkan nilai estetika dan nilai amenitas kawasan tetapi juga mengancam beberapa fasilitas pariwisata yang ada.

Secara umum, erosi pantai di Bali telah mengancam berbagai infrastruktur, bangunan dan lahan pertanian. Disamping karena faktor alam, erosi pantai di Bali cenderung diperparah oleh ulah manusia yang melakukan intervensi berlebihan di wilayah pantai, sehingga menganggu keseimbangan proses-proses dinamis pantai. Beberapa bentuk intervensi manusia yang memperparah terjadinya erosi antara lain pelanggaran sempadan pantai, pengambilan material pantai, pembuatan bangunan pengaman pantai yang bersifat spasial, dan lain-lain.

3.5 Konflik kepentingan antar berbagai sektor kegiatan pembangunan dan pemanfaatan.

Meningkatnya kegiatan berbagai sektor pemerintah dan swasta, mendorong adanya kompetisi diantara para pelaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Kompetisi ini menyebabkan adanya tumpang tindihnya perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta. Pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan laut menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih satu dengan yang lain.

Sementara itu, sifat sumberdaya pesisir dan lautan yang multiguna serta melibatkan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan, maka konflik dalam pemanfaatan tidak terhindarkan. Konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir seringkali membawa dampak terhadap keresahan masyarakat akibat adanya ketidakadilan yang dirasakan. Konflik pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Bali, umumnya terjadi akibat tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pemanfaatan. Hal ini terjadi karena belum adanya zonasi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut untuk Provinsi Bali.

Mengingat dominannya sektor pariwisata yang memanfaatkan wilayah pesisir Pulau Bali, maka seringkali pariwisata menjadi sumber dan titik sentral dari konflik tersebut. Selain itu, konflik kepentingan juga terjadi antara konservasi dengan pemanfaatan non konservasi, dimana hal ini seringkali membawa dampak yang buruk terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.

5. Kendala dalam Pengelolaan Pantai di Bali

Berdasarkan pengamatan terhadap adanya konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan laut, terdapat beberapa isu utama yang menjadi kendala dalam pengelolaan pantai di Bali. Kendala tersebut diantaranya :

5.1 Lemahnya Kelembagaan dan Koordinasi

Belum adanya lembaga yang secara khusus bertanggung jawab dan berwenang menangani wilayah pesisir dan laut, sehingga saat ini semua pihak yang berkepentingan jalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sektor masing-masing. Hal seperti ini akan sangat potensial untuk terjadinya konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut.

Saat ini terdapat beberapa lembaga departemen dan non-departemen yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Lembaga-lembaga tersebut dalam melakukan aktivitasnya di wilayah tersebut hanya sebatas kewenangannya masing-masing yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan sektoral masing-masing lembaga tersebut, tanpa adanya koordinasi yang baik. Belum lagi kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota serta antara pemerintah kabupaten/kota yang satu dengan lainnya.

Padahal dalam hal pengelolaan wilayah pesisir yang multiguna sangat diperlukan suatu lembaga yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam hal (i) mengakomodasikan mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di kawasan pantai dan laut; (ii) mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan data dan informasi serta mekanisme diseminasinya; dan (iii)mengembangkan peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif.

5.2 Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakannya

Disamping lemahnya kelembagaan, juga perangkat hukum yang mengatur tentang batas-batas kewenangan antara satu instansi dengan instansi yang lain belum jelas sehingga hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam bertindak, juga peraturan tentang batas-batas wilayah kewenangan di laut satu daerah dengan daerah lain belum diatur.

Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir dan laut belum di atur secara khusus yang memasukkan pertimbangan-pertimbangan non-yuridis seperti pertimbangan sifat ekologisnya yang khas, ekonomi, sosial-budaya, tradisi, serta pertahanan keamanan. Masing-masing sektor yang terlibat di dalam wilayah pesisir dan laut mempunyai aturan-aturan tersendiri (sektoral) yang kadangkala saling tumpang tindih dalam hal kewenangan.

Peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dan belum operasional merupakan salah satu penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan dari rencana yang ada, karena masing-masing stakeholder baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat berusaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir seoptimal mungkin sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sementara itu, penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran aktivitas di wilayah pesisir dan laut masih belum berjalan efektif, yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan di laut, keterbatasan kapasitas aparat yang berwenang serta sarana dan prasarana yang tidak mendukung.

5.3 Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi wilayah pesisir dan laut bagi pembangunan masih rendah, begitu juga halnya dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut.

5.4 Kurangnya Perangkat Sistem Informasi

Ketersediaan data dan informasi tentang wilayah pesisir dan laut saat ini masih jauh dari memadai, baik mengenai potensi sumberdaya alam maupun kondisi lingkungannya mengingat belum banyaknya perhatian tentang sumberdaya alam ini. Disamping juga terbatasnya penguasaan teknologi kelautan akibat sumberdaya manusia di sektor ini sangat terbatas jumlah dan kualitasnya serta dukungan prasarana dan sarana penelitian masih sangat kurang.

Kurangnya data dan informasi mengenai wilayah pesisir terlebih-lebih data dan informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan juga mengakibatkan wilayah ini berkembang secara tak terkendali.

Di sisi lain, wilayah pesisir dan laut seringkali digambarkan sebagai korban-korban kurangnya pertukaran informasi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya memadukan data dan informasi yang ada untuk bahan pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Masalah yang berkaitan dengan sistem informasi dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain (i) bagaimana mencari suatu cara untuk menelusuri dan menghubungkan data/informasi tersebut menjadi suatu data bersama dalam suatu bentuk yang dapat diakses dan digunakan (ii) bagaimana cara mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan informasi yang ada kemudian membuatnya menjadi suatu yang relevan untuk diterapkan (iii) kelemahan pada seri waktu pengambilan data.

6. Peluang bagi Perbaikan Manajemen Pengelolaan Pantai di Bali

Sumberdaya pesisir dan laut di masa yang akan datang memegang peranan penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Semakin bertambahnya jumlah penduduk sementara ketersediaan sumberdaya alam di darat telah semakin menipis, maka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan laut sebagai andalan baru pembangunan nasional dan daerah menjadi semakin nyata. Adanya pergeseran konsentrasi ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi poros Asia-Pasifik yang diikuti oleh perdagangan bebas dunia tahun 2020, akan menjadikan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Indonesia sebagai aset pembangunan dengan keunggulan komparatif yang harus dikelola secara optimal.

Pesisir dan laut bagi daerah Bali dan masyarakatnya mempunyai arti yang sangat penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial budaya maupun adat istiadat dan keagamaan. Melihat karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah yang dijalankan agar manfaat wilayah pesisir dan laut tersebut dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan maka perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja manajemen wilayah pesisir dan laut, dimana salah satunya melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Seiring dengan penerapan otonomi daerah, maka ke depan ini pengelolaan wilayah pesisir dan laut menghadapi paradigma baru yaitu desentralistik dan terpadu, menimnggalkan sistem yang lama yang sentralistik dan sektoral. Perbaikan sistem manajemen tersebut perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat penunjangnya, baik aspek kelembagaan, administrasi maupun peraturan perundang-undangan yang memadai serta didukung oleh seluruh stakeholders untuk meraih berbagai peluang-peluang keuntungan sosial ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan antara lain :

Pembangunan bidang ekonomi di Propinsi Bali bertumpu pada sektor pariwisata yang dalam pengembangannya banyak memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Terlebih-lebih dalam pengembangan pariwisata alam (ecotourism) di masa yang akan datang di Bali, banyak bertumpu kepada jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti wisata bahari.

Wisata bahari merupakan alternatif pembangunan pariwisata pesisir yang berkelanjutan, yang melibatkan perpaduan budaya dan lingkungan alam sekitarnya sehingga memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat untuk menyatu dalam kegiatan tersebut. Permintaan yang cukup tinggi oleh wisatawan manca negara akan alam yang “terpencil”, “asli”, dan “eksotik”, menjadikan daerah-daerah pada negara kepulauan seperti Indonesia menjadi incaran para wisatawan.

Dengan adanya upaya perbaikan manajemen wilayah pesisir dan laut, maka kondisi lingkungan pesisir diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian pariwisata di Bali dapat berkembang dengan lebih baik sehingga perolehan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih ditingkatkan.

Peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan laut yang diharapkan dari adanya perbaikan manajemen juga akan memberi peluang terhadap pengembangan perikanan tangkap serta budidaya laut yang mempunyai prospek ekonomi yang baik dan berorientasi ekspor, serta peluang untuk mengembangkan potensi keanekeragaman hayati laut untuk menunjang industri farmasi, obat-obatan dan kosmetik. Dengan demikian masyarakat pesisir mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan meningkatnya kualitas lingkungan serta adanya perbaikan aspek administrasi/ legislasi, maka dalam jangka panjang wilayah pesisir dan laut akan berpeluang menarik lebih banyak lagi investasi-investasi baru, sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesempatan usaha serta kesempatan kerja akan meningkat.

Umat Hindu di Bali diharapkan akan memperoleh peluang untuk dapat melakukan berbagai kegiatan adat dan keagamaan di pantai dengan lebih baik dan berkesinambungan, dengan adanya penataan pemanfaatan pantai dan perbaikan fisik pantai yang diharapkan dari adanya upaya perbaikan manajemen.

7.Strategi Rekayasa Budaya dalam Pengelolaan Pantai

Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah selalu menekankan pada tiga pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan pendekatan ekonomi dalam program pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang mendasar, salah satunya adalah belum diintegrasikannya sistem manajemen lingkungan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sehingga masyarakat setempat senantiasa pada kondisi yang terhegemoni oleh kekuasaan yang direpresentasikan oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, strategi rekayasa budaya seyogyanya dilakukan dalam perencanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan memberikan peluang perbaikan melalui pendekatan budaya .

Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional sehingga dapat dipahami secara universal.

Pendekatan budaya menekankan pada aspek keseimbangan dalam memahami posisi identitas etnis dari kelompok yang bermukim di suatu kawasan. Walaupun persamaan moral yang mendasari setiap tindakan manusia diyakini memiliki kesamaan, namun perilaku terhadap alam sangat tergantung pada orientasi hidup seseorang. Dalam hal semakin bertambahnya beban limbah dan sampah yang masuk ke lingkungan di Bali sebagai akibat pertumbuhan populasi penduduk, kesepakatan tentang ketetapan standar hidup seperti penghormatan terhadap nilai keselarasan dalam Tri Hita Karana harus dipahami sebagai suatu produk budaya setempat.

Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan pantai dan kegiatan konservasi ( transplantasi karang ) di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan, dan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi, dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Sehingga kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas dan kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk.

8. Penutup

Penerapan manajemen pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu telah dilaksanakan secara konsisten dalam program pembangunan di wilayah pantai Bali. Walaupun dalam implementasinya ditemukan beberapa kendala, namun dengan memberikan penekanan pada pendekatan budaya, selain pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan kelembagaan, maka tujuan perlindungan sumber daya pesisir dan laut dapat dilakukan dengan baik.

Diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah yang memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat setempat untuk mengelola potensi sumber daya yang dimiliki dengan mengacu pada pendekatan keterpaduan program pengelolaan pantai. Dengan memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada masyarakat setempat, maka pengelolaan pantai akan lebih sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri.

Referensi

Baker, I. And P. Kaeoniam (eds.), 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Environmental and Resources Research Division, Thailand Institute of Scientific and Technological Research. Bangkok.

Burbridge, P.R., 1986. Problems and issues of coastal zone management. In Man, Land and Sea. The Agricultural Development Council. Bangkok.

Chua, T.E. 1998. Leasson learned from practicing integrated coastal management in Southeast Asia. Ambio vol. 27 No. 8 : 599-610.

Clark, J.R. 1992. Integrated Management for Coastal Zones. FAO Fisheries Department.

Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca Raton, New York, London, Tokyo.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting and M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dharma Putra,K.G., 2003, Partnership and Public Participatory Approach for Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia

Sorensen, J.C and S.T. McCreary. 1990. Institusional Arrangements for Managing Coastal Resources and Environments. Revised second edition. National Park Service, U.S. Department of the Interior and U.S. Agency for International Development. Washington .

Sukarno, N. Naamin and M. Hutomo. 1986. The status of coral reef in Indonesia. Proceeding of MAP-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem : Their Management Practices and Research/Training Needs. Bogor 4-7 March 1986, 14-16.

Sulivan, K., L. de Silva, A.T. White and M. Wijeratne. 1995. Environmental Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka. Coastal Resources Management Project of The University of Rhode Island and the Coast Conservation Department. Sri Lanka.

Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup

FMIPA Universitas Udayana

Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali.

Tel. 0361-467712, 7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712

E-mail: kgdharmap@telkom.net

HUMAN ECOLOGY DENGAN SPIRIT PENDEKATAN KREATIF

HUMAN ECOLOGY DENGAN SPIRIT PENDEKATAN KREATIF

BERBASIS BUDAYA UNGGULAN

Oleh Dr. K.G. Dharma Putra,M.Sc*

Universitas Udayana Bali

Jl.Gutiswa No 24 Peguyangan Kangin Denpasar Bali

Tel. 0361 7939904 Hp. 08123970922 Fax. 0361 467712 Email:kgdharmap@telkom.net

1.Pendahuluan

Manusia sebagai mahluk sosial memiliki insting untuk menciptakan kreatifitas hidup alamiah agar dapat hidup lebih baik. Kemampuan berpikir yang dimilikinya menyebabkan manusia berusaha memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan untuk menyelamatkan kehidupannya. Berbagai proses penciptaan hasil karya manusia, dari yang paling sederhana pada zaman batu hingga peralatan dan temuan canggih pada abad informasi ini didasarkan pada spirit kreatifitas yang sesuai dengan kebudayaan yang berkembang pada zamannya.Berbagai permasalahan yang ada, ternyata memberikan gambaran tentang arah perkembangan kreatifitas manusia yang beragam, tidak semata-mata bergerak kearah perbaikan saja namun bisa juga menghasilkan sesuatu yang berpotensi menghancurkan masa depan umat manusia.Oleh karenanya, kreatifitas manusia harus diarahkan menuju kepada upaya penciptaan keunggulan yang bermartabat.

Human ecology sebagai bidang ilmu interdisipliner melakukan analisis dari berbagai pendekatan seperti pendekatan kemanusiaan, masyarakat, dan lingkungannya secara holistik. Keterpaduan cara pandang dalam memahami sebuah permasalahan dapat memberikan pemecahan permasalahan dengan lebih optimal.Walaupun pada akhirnya, penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang bervariasi antara satu persoalan dengan persoalan lainnya.Namun, dengan memusatkan perhatian kepada upaya penciptaan kreatifitas berbasis keunggulan maka kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang menjadi sebuah harapan yang realistis.

Spirit pendekatan kreatifitas berbasis budaya unggulan merupakan wahana yang dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan abiotik,biotik dan sosial.Pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan yang didasarkan kepada perilaku manusia yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan merupakan harapan yang dapat diwujudkan apabila tumbuh kesadaran terhadap pentingnya mewariskan hal yang bermartabat bagi generasi yang akan datang.Strategi yang dapat dilakukan adalah melalui penerapan konsep pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan tradisi lokal.

2. Dimensi Manusia dan Lingkungan Hidup

Manusia dan lingkungan memiliki dimensi yang beragam sesuai dengan peran dan kedudukannya. Menurut Lohany(dalam Arwata,2007), kedudukan manusia dan teknologinya dapat berbentuk imanen (tergantung dan ikut berperan), dan transendal (memainkan peran).Pada kedudukannya secara transendal, manusia dan teknologinya mengeksploitasi sumber daya manusia. Namun dengan adanya intervensi manajemen yang baik, keserakahan manusia dapat dikendalikan melalui strategi efisiensi. Kedudukan tersebut dapat digambarkan sebagai bagan berikut.

Gambar 1. Kedudukan Manusia dan Teknologi

(Sumber:Lohany,1984)

Berdasarkan gambar tersebut, beberapa potensi sumber daya alam (misalnya air dan lahan) merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan sehingga keberadaannya perlu dijaga kelestariannya. Namun kebutuhan manusia dan proses industrialisasi sering mengakibatkan dampak yang mengkhawatirkan. Pemenuhan kebutuhan manusia dalam bentuk pembangunan yang dilaksanakan dengan mengabaikan daya dukung lingkungan telah menimbulkan kehancuran yang besar yang akhirnya malahan meningkatkan kemiskinan. Padahal pembangunan dilakukan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Manusia berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya sehingga menghasilkan kebudayaan. Interaksi dan interrelasi tatanan kehidupan dalam bentuk sistem ekologi (keanekaragaman alami dan hayati) dengan sistem sosial (subsistem teknologi dan produksi) adalah jabaran moral alam dengan moral manusia yang dibatasi dimensi ruang,waktu, kesempatan, ketepatan, sesuai dengan konteks nilai dan pemaknaan.Hubungan antara manusia (human) dan lingkungan (ekologi) berdasarkan interdependensi dan interrelasi komponen lingkungan hidup yang membangun hubungan aspek alam (ekosentrisme) dan aspek moral manusia(antroposentrisme).Berdasarkan dimensi hubungan inilah akhirnya dihasilkan proses kreatifitas berpikir yang melahirkan logika pengetahuan, kreatifitas rasa melahirkan estetika(keindahan) dan kreatifitas karsa melahirkan etika(kaedah-kaedah) dalam kehidupan umat manusia. Budaya unggulan yang dihasilkan dari dimensi hubungan manusia dengan lingkungan terwujud dari kebiasaan berpikir, berperasaan dan berkemauan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik selaras dengan tatanan kesemestaan alam. Dorongan, motivasi dan pemantapan upaya menyelami rahasia/misteri alam semesta dan kehidupan diwujudkan dalam aktivitas biofisik yang berdasarkan kepada metabolisme teknologi dan metabolisme biologis. Sementara itu, dimensi pemikiran yang bersifat abstrak berupa nilai-nilai terwujud dalam budaya-budaya unggul yang masih dapat terselamatkan dalam bentuk nilai-nilai kearifan setempat(local knowledge/local genius). Gambaran konseptual alur tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Dimensi Manusia dan Aktivitasnya

(Sumber:Boyden,1993)

Dimensi hubungan antara manusia(human) dan lingkungan(ekologi) yang memunculkan kreatifitas sehingga menghasilkan keunggulan cipta,rasa, dan karsa dilandasi pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan, logika, pengetahuan, estetika dan etika yang memadai. Budaya unggul dihasilkan dari kebiasaan dalam berpikir dan bertindak berdasarkan inovasi dan kreatifitas yang berasal dari kejadian-kejadian alam. Proses keberlanjutan kehidupan setiap organisme di alam merupakan implementasi keunggulan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Pembelajaran dari alam semesta adalah pengejawantahan proses metabolisme biologis dan metabolime teknologi yang menghasilkan artefak dan kebiasaan manusia.

3. Paradoks Nilai Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Suatu gejala mendasar yang dapat dirasakan saat ini sebagai akibat upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kualitas kehidupan manusia adalah eksploitasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Pertambahan populasi manusia yang demikian cepat, hendak diimbangi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tidak mampu menjaga kelestarian sumber daya alam. Tekanan terhadap kelestarian daya dukung lingkungan, merupakan suatu konsekuensi pertumbuhan populasi manusia yang memiliki tingkatan peradaban yang bervariasi. Pada sebagian negara, pemanfaatan sumber daya alam sangat berlebihan, sementara sebagian besar lagi umat manusia, di negara-negara dunia ketiga, hidup dalam kemiskinan.

Ciri-ciri masyarakat dalam era modernisasi ditandai dengan proses industrialisasi di segala bidang kehidupannya. Sejak tahun 1960-an, industrialisasi dianggap mampu untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Transformasi industri hampir terjadi di seluruh belahan dunia dan semenjak itu aktivitas industri semakin tinggi dari waktu ke waktu. Meskipun industri memberikan perubahan ekonomi dan juga taraf kesejahteraan manusia, tetapi industrialisasi juga menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas kehidupan yang sangat besar( Marfai,2005). Budaya materialisme, hedonisme, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan pragmatisme merupakan dampak perkembangan industrialisasi yang perlu diantisipasi secara bertanggungjawab.

Dalam kehidupan sehari-hari, tantangan terhadap dimensi hubungan antara manusia(human) dan lingkungan (ekologi) dalam spirit kreatifitas berbasis budaya unggul adalah bagaimana upaya penyelamatan keberlanjutan kehidupan umat manusia dari berbagai permasalahan lingkungan hidup. Secara kasat mata, fenomena lingkungan hidup yang dihadapi seperti misalnya persoalan pencemaran lingkungan menuntut kreatifitas manusia untuk menyelesaikannya. Permasalahan pencemaran lingkungan seperti bertumpuknya sampah tanpa ada pengolahan, aliran air sungai yang kotor dan berbau busuk, berkurangnya kesuburan tanah pertanian akibat penggunaan pupuk kimiawi yang berlebihan, udara yang pengap karena emisi gas buang kendaraan bermotor, kepunahan beberapa keragaman flora dan fauna yang strategis dalam rantai makanan,dan berbagai masalah yang diakibatkan limbah yang tidak dikelola dengan baik, telah mengganggu kenyamanan hidup masyarakat. Kasus mewabahnya penyakit diare, demam berdarah, dan beberapa penyakit mematikan yang diakibatkan penyebaran virus dan bakteri pathogen, berkaitan langsung dengan kondisi lingkungan yang tercemar. Turunnya pendapatan masyarakat akibat kerusakan lingkungan hidup menimbulkan berbagai konflik sosial baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.

Gangguan yang ditimbulkan oleh kondisi pencemaran lingkungan telah dirasakan oleh masyarakat secara luas. Pernyataan melalui media, baik cetak maupun elektronik, menyiratkan persoalan pencemaran lingkungan di Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya, telah menjadi masalah yang serius yang perlu penanganan segera. Bagi pulau Bali, yang dikenal sebagai daerah tujuan wisata terbaik di dunia, persoalan pencemaran lingkungan merupakan sebuah ironi yang membahayakan masa depan kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Bali yang dikenal luas memiliki konsep nilai yang mengedepankan keharmonisan dengan alam dan prilaku budaya masyarakatnya yang religius, pada saat bersamaan dihadapkan pada persoalan yang menunjukan perilaku masyarakat yang tidak menghormati daya dukung lingkungan. Paradoks yang tampak secara kasat mata tersebut perlu dicermati dengan serius, untuk memahami fenomena budaya yang terjadi.

Budaya unggul yang dilaksanakan dengan pendekatan kreatif perlu ditumbuhkembangkan secara berkelanjutan untuk menyelamatkan masa depan bumi beserta segenap isinya. Hal ini penting dilakukan karena perspektif kreatifitas berbasis keunggulan budaya lokal yang diterjemahkan secara salah arah dapat menimbulkan pandangan yang keliru terhadap makna kreatifitas masyarakat. Terlihat adanya paradok dalam menterjemahkan dimensi human ekologi dalam menghadapi permasalahan yang terjadi, misalnya dalam kasus pencemaran lingkungan hidup. Upaya yang direncanakan adalah untuk memperbaiki kualitas lingkungan dalam bentuk program konservasi, pembangunan sarana pengelolaan lingkungan hidup (instalasi pengolahan sampah, limbah) atau kegiatan pengamanan pantai, pembangunan pusat pembangkit listrik dan lain lain sering mendapat penolakan masyarakat. Sebagian masyarakat seolah-olah tidak mengharapkan program pengelolaan lingkungan hidup tersebut terwujud padahal kondisi yang ada sangatlah memerlukannya. Keadaan tersebut menyiratkan adanya suatu fenomena kehidupan yang perlu dicermati dengan seksama. Kompleksitas permasalahan dan berbagai hambatan yang terjadi dalam mewujudkan suatu gagasan atau ide untuk mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup perlu dipahami secara menyeluruh untuk menemukan formulasi persoalan yang terjadi demi perbaikan harkat dan martabat masyarakat.Padahal di sisi lain, kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi, juga bersumber pada tidak dikelolanya limbah yang dihasilkan oleh aktivitas masyarakat yang mengakibatkan masuknya zat-zat pencemar ke lingkungan setiap hari secara perlahan-lahan. Perilaku masyarakat yang tidak toleran terhadap daya dukung lingkungan menyebabkan bahan pencemar secara terus menerus masuk kedalam lingkungan. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik dalam lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia ( Keraf, 2002). Padahal, manusia yang hidup pada masa kini adalah manusia yang telah melewati peradaban yang lama sejak awalnya kehidupan manusia di bumi.

Sejak tahun 1970-an, telah muncul banyak minat dalam teori sosial dan teori budaya dalam kaitan dengan sikap dan perilaku manusia berkaitan dengan aspek ruang tempat tinggal manusia dan dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan (Foucault dalam Soja,1995). Pemahaman terhadap aktivitas manusia dalam ruang pemukiman ( lingkungan hidupnya) dengan pendekatan socio kultural, dikatakan oleh Giddens (dalam Baker,2004) sebagai hal mendasar untuk memahami interaksi manusia dengan alam (human ekologi). Menurut Massey (dalam Baker,2004) kondisi yang terjadi di lingkungan merupakan konstruksi proses sosial dalam kaitan dengan mobilitas masyarakat. Dikatakannya, apabila terjadi modernisme maskulin, akan menyebabkan terjadinya marginalisasi pada bagian lainnya. Dalam kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, masyarakat telah melakukan hegemoni dengan mengekspoitasi sumber daya alam sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan.

Dimensi human ekologi berkaitan langsung dengan perilaku masyarakat. Perubahan yang terjadi pada aspek ruang disebabkan oleh sikap masyarakat terhadap alam sekitar. Shields,1996 (dalam Baker,2004) berpendapat bahwa perubahan aspek ruang dalam kota disebabkan paling besar oleh tidak adanya representasi dialogis diantaranya. Salah satu yang paling menonjol adalah akibat orientasi yang salah pada penterjemahan sikap dan perilaku masyarakat.

Sikap dan perilaku manusia yang telah menjadi kebiasaan hidup disebut etika, adat istiadat, atau budaya dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan, norma , dan nilai-nilai yang disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah tersebut pada dasarnya menyangkut baik-buruk perilaku manusia yang berisikan nilai-nilai dan prinsip–prinsip moral yang harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku manusia. Masyarakat menurunkan nilai-nilai yang bersifat baik secara terus menerus sehingga menjadi nilai-nilai kearifan lokal yang mewarnai sikap dan perilaku kesehariannya.

Spirit kreatifitas yang berbasis budaya unggul dapat dilihat dari pengejawantahan harmoni sebagai nilai universal yang diformulasikan secara lokal dengan kecerdasan budaya. Salah satu kreatifitas yang didasarkan pada budaya unggul masyarakat Bali adalah memunculkan konsep Tri Hita Karana (THK) yang digali dari berbagai sumber sastra suci maupun buah dari rasa, cipta, dan karsa para cedekiawan Bali. Konsep Tri Hita Karana (THK) yang berarti tiga hal yang menyebabkan selamat sejahtera merupakan konsep yang digagas secara orisinal pada tahun 1960-an Istilah tri hita karana (THK), menurut sejumlah sumber, baru dicetuskan sekitar tahun 1964 dalam kancah kegiatan Badan Perjuangan Umat Hindu Bali. Badan ini beberapa tahun kemudian bernama Prajaniti Hindu Indonesia yang diresmikan tahun 1968. Dalam kancah perjuangan umat Hindu itulah Prof. Dr. I Wayan Mertha Suteja memperkenalkan rumusan tiga penyebab kebahagiaan hidup, yaitu Widi (Tuhan), manusa (manusia), dan bhuwana (bumi/alam).

Sekalipun istilahnya belum begitu lama diperkenalkan, konsep dasar THK sudah tercantum dalam kitab suci Bhagawad Gita (III.10), yang menyebutkan bahwa yadnya (persembahan) merupakan dasar hubungan Tuhan Yang Mahaesa (Praja Pati), manusia (praja), dan alam (kamadhuk). THK dalam kaitan ini dapat diartikan sebagai sikap hidup yang seimbang antara berbhakti kepada Tuhan, mengabdi dan saling melayani antar-sesama manusia, dan menjaga kesejahteraan alam lingkungan berdasarkan yadnya. Dengan kata lain, manusia sebagai makhluk sosial dapat mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin jika mampu menjalin keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam dalam satu kesatuan yang utuh berdasarkan yadnya.

Dalam seminar tentang desa adat di Fakultas Hukum dan Kemasyarakatan Universitas Udayana tahun 1969, I Gusti Ketut Kaler menjabarkan THK dengan rumusan parhyangan, pawongan, palemahan. Rumusan ini terefleksi ke dalam penyuratan awig-awig (penulisan aturan di desa adat) yang mengandung tri sukerta (tiga hal pokok penunjang kesejahteraan dan kebahagiaan), yaitu Sukerta Tata Agama, Sukerta Tata Pawongan lan Sukerta Tata Palemahan (penerapan ajaran agama, penataan kehidupan sosial, dan pengaturan ruang). Ketiga aturan ini diarahkan untuk mendukung penerapan konsep THK di desa adat, yang sekarang bernama desa pakraman. Prinsip moral tersebut mengedepankan keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan), manusia dengan alam lingkungan ( Palemahan) dan manusia dengan Tuhan (Parahyangan). THK sebagai sistem kebudayaan masyarakat Bali telah dikukuhkan sebagai landasan filosofi pengembangan pariwisata, pengaturan ruang, dan rencana stratejik (Renstra) pembangunan sebagai mana tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali Nomor 3 tahun 1991; Nomor 4 Tahun 1996; dan Nomor 16 Tahun 2002, sehingga masyarakat Bali wajib mengimplementasikan THK sebagai landasan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. (Asrama, 2004).

Implementasi konsep keselarasan hidup yang di tuangkan di dalam THK , yang menekankan konsep orientasi hidup masyarakat Bali dalam memandang alam mendapat ujian berat dalam tataran implementasi. Paradoks penerapan nilai-nilai kearifan lokal yang diformulasikan melalui pendekatan kreatif berbasis budaya unggul perlu diterjemahkan secara cerdas dengan merancang program dan aksi nyata yang memunculkan produk yang bernilai luhur.

4. Implementasi Keunggulan Budaya dalam Spirit Keberlanjutan Lingkungan

Spirit keberlanjutan lingkungan saat ini sangat bergantung kepada upaya mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal dan keunggulan budaya setempat. Pesatnya perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan sumbangan yang besar pada peningkatan kenyamanan hidup manusia. Namun di sisi lain, telah terjadi penurunan kualitas lingkungan fisik sebagai dampak dari banyaknya limbah yang dihasilkan oleh kegiatan untuk meningkatkan kenyamanan hidup manusia tersebut. Dunia dirasakan sedang berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi,teknologi dan politik (Capra,2004). Keadaan ini tentu sangat dirasakan oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat industri. Keinginan mengadopsi penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang sangat menggiurkan karena kenyamanan yang ditawarkan berhadapan dengan ketakutan terhadap ketidaknyamanan yang mungkin akan terjadi sebagai akibat dampak-dampak yang ditimbulkan oleh limbah teknologi tersebut. Pada masa seperti inilah, proses tranformasi sosio-kultural yang bersifat kreatif sangat diperlukan agar terjadi peroses peralihan dari nilai-nilai budaya yang bersifat tradisional-agraris menjadi modern-ilmiah (Maran, 1999). Pemahaman terhadap proses transformasi sosio-kultural yang berbasis sains sangat diperlukan untuk memberikan solusi pemecahan terhadap kebingungan yang terjadi pada masa transisi tersebut.

Dunia modern yang diciptakan oleh revolusi industri yang berbasis sangat kuat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat menekankan pada adanya standarisasi dan produksi massal (Queralt, 1996). Setiap parameter yang terlibat dalam suatu proses harus memiliki tingkat keterukuran dengan validitas dan reabilitas yang optimal. Pada bagian lainnya, telah sangat disadari adanya perbedaan yang mendasar pada diri setiap manusia yang menjadi subyek sekaligus obyek dari perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (Capra,2004). Oleh karena itu pemikiran tentang konsep postmodern menjadi sebuah paradigma baru pemikiran tentang tingkat kenyamanan hidup manusia yang berkaitan dengan aspek kebudayaan.

Kebudayaan sebagai hasil budi dan akal manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup memanfaatkan segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Kebudayaan adalah jalinan dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat (Tayor dalam Abu Ahmadi, 1990). Konsep kebudayaan dapat disusun berdasarkan unsur-unsurnya yang universal meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6)sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 2002). Perubahan yang terjadi pada masing-masing unsur kebudayaan tersebut bervariasi dan semakin mudah sesuai urutannya. Artinya sistem teknologi dan peralatan lebih mudah mengalami perubahan dibandingkan dengan sistem mata pencaharian hidup, demikian seterusnya. Sementara itu kaitan antara satu sistem dengan sistem kebudayaan yang lainnya merupakan suatu jalinan yang integratif.

Kebudayaan mempunyai paling sedikit tiga wujud yang berbeda yakni (1)Wujud kebudayaan yang disebut wujud ideal dari kebudayaan sebagai suatu kompleks dari idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial;(3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik. Masing-masing wujud kebudayaan ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan kebudayaan fisiknya. Kebudayaan fisik sangat mempengaruhi pola prilaku serta nilai-nilai dari masyarakatnya (Koentjaraningrat,2002).

Manusia sebagai sentral dari perwujudan kebudayaan tersebut memiliki kelakuan yang terpola dalam suatu hubungan yang terintegrasi diantara ketiga wujud kebudayaan tersebut. Visi realitas baru yang terjadi berdasarkan pada kesadaran akan kesalinghubungan dan saling ketergantungan esensial semua fenomena fisik, biologis, sosial dan kultural sebagai perwujudan pandangan hidup sistem( Capra,2004). Visi yang melampui batas-batas konseptual dan disiplin ilmu yang ada ini memungkinkan tumbuhnya suatu paradigma baru dalam melihat hubungan antara wujud-wujud kebudayaan berdasarkan pada suatu teori dan model yang juga dapat melampui batas perbedaan disiplin konvensional.

Semua sistem alami merupakan gabungan dari struktur-struktur khususnya yang muncul dari interaksi dan saling ketergantungan bagian-bagiannya.Aktivitas sistem ini melibatkan suatu proses yang dikenal dengan transaksi-interaksi seketika dan ketergantungan satu sama lain antar komponen-komponen majemuk. Sifat-sifat sistemik menjadi rusak pada waktu sistem dipotong-potong, baik secara fisik maupun secara teoritis, menjadi elemen-elemen yang terpisah. Meskipun kita dapat melihat bagian-bagian individual di dalam setiap sistem, hakikat keseluruhan selalu berbeda dari sekedar jumlah bagian-bagiannya. Suatu aspek sistem lainnya adalah hakikat sistem yang secara instrinksik bersifat dinamis. Sifat-sifat tatanan dimanifestasikan dalam struktur khusus, susunan yang teratur dan distribusi substrukturnya berupa indeks keberaturan dari dinamika yang bekerja di dalam ranahnya. Bentuk yang hidup harus dianggap sebagai suatu indikator, petunjuk, dan dinamika proses yang mendasarinya ( Paul Weiss dalam Capra,2004).

Pandangan hidup sistem memiliki keterkaitan yang erat dengan sistem-sistem dalam ranah lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk didalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Adapun ruang merupakan sesuatu dimana berbagai komponen lingkungan hidup menempati dan melakukan proses, sehingga ruang dan komponen lingkungan merupakan suatu kesatuan.

Nilai-nilai merupakan tingkatan yang paling abstrak dari ketiga wujud kebudayaan (Koentjaraningrat,2002). Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi kelakukan manusia. Sistem-sistem tata kelakukan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya berpedoman pada sistem nilai budaya itu. Pandangan hidup sistem beranggapan bahwa sistem nilai budaya memiliki keterkaitan dengan sistem-sistem lainnya, termasuk sistem-sistem yang meliputi wujud fisik yang berupa perubahan lingkungan fisik. Oleh karena itu, dapat dilakukan suatu integrasi keterhubungan antara perubahan yang terjadi dari hasil perwujudan kebudayaan fisik dengan kebudayaan ideal secara terpolakan.

Ilmu pengetahuan adalah pranata sosial dengan fungsi yang jelas, yaitu mengadakan penemuan-penemuan (Goldthorpe, 1992). Ilmuwan berusaha membuat pernyataan tentang fenomena yang terjadi di alam yang akan tetap benar, tanpa mengingat siapa yang membuatnya dan sangat terbuka untuk dikritisi oleh pengamat lainnya sepanjang masa. Kebudayaan sebagai bagian dari ilmu pengetahuan sangat terbuka, selektif, dan berkembang sehingga pemahaman yang jelas antara aspek-aspek yang mengalami perubahan pada kebudayaan suatu masyarakat merupakan sumbangan bagi peningkatan mutu ilmu pengetahuan itu. Ilmu pengetahuan merupakan cara untuk menghasilkan dan menguji kebenaran pernyataan mengenai peristiwa yang terjadi di dunia pengalaman manusia (Wallace W.L.,1994). Pandangan hidup sistem menekankan pada adanya interaksi lingkungan fisik di sekitar manusia dengan konsep-konsep tentang yang sudah ada di dalam benak manusia tersebut secara sistemik. Oleh karena itu pemikiran ilmiah mengambil titik tolak dari masalah yang diketengahkan oleh pengamatan hal dan peristiwa yang ditemui dalam pengalaman sehari-hari; bertujuan memahami apa yang dapat diamati ini dengan cara menemukan beberapa urutan sistematis yang ada di dalamnya, dan pengujian akhir bagi hukum-hukum yang berfungsi sebagai alat bagi penjelasan dan prediksi ialah kesesuaian mereka dengan pengamatan itu ( Nagel dalam Wallace,1994).

Manusia dan kebudayaan pada dasarnya berhubungan secara dialektis. Ada interaksi antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia sendiri adalah produk kebudayaannya. Itulah dialektika fundamental yang mendasari seluruh proses hidup manusia. Dialektika fundamental terdiri atas tiga momen atau tahap, yakni eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi ( Berger dalam dalam Maran, 2000).

Eksternalisasi adalah proses pencurahan diri manusia secara terus menerus ke dalam dunia melalui aktivitas fisik dan mentalnya. Obyektivasi adalah tahap dimana aktivitas manusia menghasilkan suatu realitas obyektif yang berada di luar diri manusia. Sedangkan internalisasi adalah tahap dimana realitas obyektif hasil ciptaan manusia itu kembali diserap oleh manusia. Melalui eksternalisasi manusia menciptakan penemuan-penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakibat pada penggunaan sumberdaya alam untuk kenyaman hidup manusia dan masyarakatnya. Melalui internalisasi kebudayaan mempengaruhi persepsi masyarakat sehingga merangsang timbulnya perubahan secara terus menerus dari pola perilaku, aktivitas, gaya hidup, dan nilai-nilai budaya manusia dan masyarakat. Secara terintegrasi, terdapat hubungan yang nyata antara perubahan wujud kebudayaan fisik dengan wujud kebudayaan ideal sebagai akibat interaksi kreatif antara manusia dengan kebudayaan.

5. Dimensi Human Ekologi dan Etika Lingkungan Hidup

Etika lingkungan hidup berkaitan dengan nilai-nilai, perilaku, dan kebiasaan hidup masyarakat yang berhubungan dengan lingkungan hidup yang merupakan refleksi kritis tentang apa yang harus dilakukan manusia terhadap isu-isu lingkungan hidup. Keterkaitan antara manusia dan lingkungan hidup dan dampak yang diakibatkan oleh aktivitas manusia terhadap lingkungan hidup merupakan telaahan dalam etika lingkungan hidup. Terdapat tiga landasan teori etika tentang etika lingkungan hidup yakni deontologi, teleologi, dan etika keutamaan.

Menurut etika deontologi, suatu tindakan di nilai baik atau buruknya berdasarkan kesesuaian tindakan tersebut dengan kewajibannya (Keraf,2001). Sikap melindungi dan menghormati alam adalah baik kalau itu adalah sebuah kewajiban moral. Immanuel Kant (1734-1804) menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi kita bertindak dan menilai suatu tindakan.Dalam perspektif itu, tindakan mencemari lingkungan hidup (misalnya: dengan membuang limbah ke sungai) akan dinilai buruk secara moral bukan karena akibatnya yang merugikan namun karena tidak sesuai dengan kewajiban moral untuk hormat dan melindungi alam.

Menurut teleologi, perilaku baik dan buruk adalah berdasarkan tujuan atau akibat dari tindakan tersebut sehingga lebih bersifat situasional dan subyektif. Setiap tindakan yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri akan dinilai baik secara moral, sebaliknya akan buruk kalau kita membiarkan diri kita menderita dan dirugikan. Bentham dalam Keraf (2002) menyatakan bahwa penilaian terhadap perilaku baik dan buruk suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Oleh karena itu, tindakan pencemaran lingkungan sebagai akibat perilaku manusia yang tidak menghargai alam merupakan tindakan yang buruk karena memberikan dampak yang besar bagi kerugian orang banyak.Namun apabila tindakan pencemaran lingkungan dapat menghasilkan manfaat bagi lebih banyak masyarakat maka tindakan tersebut adalah baik.

Berbeda dengan kedua teori etika di atas, etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, atau penilaian moral pada kewajiban, namun lebih menekankan pada karakter moral individu. Aristoteles dalam Keraf (2002) menyatakan bahwa nilai moral bukan ditentukan dari aturan berupa larangan dan perintah, melainkan dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktekkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Pesan-pesan moral disampaikan dalam bentuk keteladanan dan sikap yang terpuji secara terus menerus. Nilai-nilai yang sudah diyakini masyarakatnya baik dan benar secara turun menurun mendapat tempat yang utama dan menjadi nilai-nilai yang hakiki. Keyakinan lokal bahwa mencemari lingkungan adalah tindakan buruk didasarkan pada rasionalitas masyarakat terhadap nilai-nilai bahwa alam memiliki kehidupan yang harus dijaga kelestariannya, karena kalau terganggu bereaksi terhadap pengganggunya.

Dimensi hubungan antara manusia (human) dan lingkungan (ekologi) dapat dijelaskan dalam dua buah pandangan besar. Pandangan pertama menyebutkan manusia merupakan bagian dari alam sehingga setiap tindakan yang dilakukan harus tidak menimbulkan kerusakan. Pandangan lainnya yang dikenal dengan pandangan optimis yang berkembang sejak revolusi industri di Eropa, menyebutkan manusia adalah segala-galanya, yang dapat memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan sesuai dengan kehendaknya.

Pandangan optimis berkembang sangat pesat dan mempengaruhi pikiran manusia modern setelah ditemukannya sistem teknologi dan peralatan yang semakin canggih. Pemanfaatan sumberdaya alam demi pemuasan kebutuhan manusia berlangsung secara tak terkendali. Eksploatasi sumber daya alam secara besar-besaran tersebut akhirnya terbukti menimbulkan banyak masalah lingkungan hidup. Pada awalnya, gangguan terhadap kenyamanan hidup manusia diketahui dari perubahan kualitas lingkungan fisik seperti pencemaran air, udara, tanah; wabah penyakit, dan kerusakan fisik seperti abrasi, erosi, banjir, longsor dan sedimentasi. Namun seiring dengan pemahaman yang lebih holistik terhadap fenomena alam, diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada biosfer, ekosistem seluruh planet telah memberikan tanda-tanda alam yang lebih kongkrit. Fenomena alam yang dapat dibaca dari nilai-nilai lokal yang telah lama diyakini masyarakatnya secara sederhana memberikan informasi yang lebih mudah untuk membaca kerusakan alam akibat perilaku manusia.

Lingkungan hidup merupakan bagian yang terintegrasi diantara tiga komponen lingkungan utama yakni lingkungan Abiotik, Biotik,dan Culture (Lingkungan A,B,C). Integrasi ketiga komponen tersebut dicirikan secara jelas dengan aspek dinamika, kompleksitas, dan ketidakpastian ( Mitchell,1997). Aspek dinamika perubahan (change) menuntut kemampuan untuk mempengaruhi dan mengarahkan perubahan menjadi keadaan yang lebih baik. Aspek kompleksitas diartikan sebagai keadaan dimana proses-proses perubahan lingkungan disebabkan oleh begitu banyak faktor atau variabel yang berada diluar jangkauan manusia yang diharapkan dapat ditanggulangi dengan jelas agar dapat dilakukan intervensi terhadap proses perubahan tersebut menuju keadaan yang diharapkan. Aspek ketidakpastian merupakan keadaan yang tidak dapat diperkirakan namun tetap harus dilakukan pendekatan yang tepat agar perubahan yang terjadi dapat diarahkan menuju kekeadaan yang diinginkan.

Konsep keselarasan menjadi sangat penting dalam memadukan semua aspek yang ada dalam lingkungan hidup. Sehingga masalah pengelolaan lingkungan hidup sangat berkaitan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada pentingnya integrasi antara ide-ide pembangunan dan lingkungan yang sebelumnya cenderung dipertentangkan. Kriteria pembangunan berkelanjutan untuk Bali (Martopo dan Mitchell,1995) yakni menumbuhkan integritas ekologi, effisiensi,keadilan,integritas kultur,komunitas,harmoni, dan pembangunan sebagai realisasi potensi sangat berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dimensi hubungan manusia dan lingkungan (human ekologi) yang memiliki kecenderungan untuk mendapatkan kenyamanan hidup saat ini berhadapan dengan dinamika perubahan lingkungan akibat pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kecenderungan untuk tinggal menetap di sekitar wilayah pesisir pantai misalnya, yang menjadi impian masyarakat di hampir semua benua dihadapkan kepada potensi bencana akibat pemanasan global. Dimesi human ekologi tersebut dipengaruhi oleh spirit alami, namun sebenarnya berkaitan dengan keinginan untuk menikmati keindahan alam, serta dekat dengan sumber daya alam yang subur dan kemudahan mendapatkan makanan dan sarana transportasi. Pertumbuhan kawasan pesisir akhirnya mulai terancam dengan diketahui fenomena pemanasan global yang berdampak kepada peningkatan permukaan air laut yang mengancam kota-kota padat yang terletak di wilayah pesisir. Perubahan kualitas lingkungan fisik seperti pencemaran air laut, pencemaran sedimen, serta kerusakan fisik mengusik kenyaman hidup masyarakat pesisir. Fenomena tersebut menuntut kreatifitas manusia yang berbasis budaya unggul untuk mampu mengurangi potensi kehancuran akibat perubahan iklim dengan upaya penyelamatan lingkungan hidup.Orientasi manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam perlu diperbaiki agar spirit kreatifitas yang timbul berbasis budaya unggul yang mengedepankan keberlanjutan kehidupan.

6. Penutup

Dimensi human ekologi dengan spirit pendekatan kreatif berbasis budaya unggul perlu didukung pertumbuhannya agar berkembang dengan baik di lubuk sanubari setiap insan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengarahkan orientasi hidup masyarakat berlandaskan nilai-nilai harmoni seperti yang terkandung dalam konsepsi Tri Hita Karana. Transformasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam produk dengan spirit kreatifitas berbasis keunggulan budaya perlu ditumbuhkembangkan dan di dukung oleh para pihak yang terkait . Pesan keharmonisan hidup melalui konsep orientasi hidup berbasis keseimbangan yang dikenal dengan Tri Hita Karana dapat disampaikan kepada dunia melalui produk keunggulan yang bernilai universal. Glokalisasi Tri Hita Karana sebagai ekspresi nilai kearifan lokal secara global dapat menjadi representasi elastisitas budaya lokal dalam hantaman globalisasi.

Daftar Bacaan

Asrama,B.,2004, THK dalam Manajemen Hotel, Makalah dalam International Talk show on Tourism Bali Travel News-WTO-UNUD, Bali.

Barker, Chris,2004. Cultural Studies Teori & Praktik, Yogyakkarta: Penerbit Kreasi Wacana.

Capra,F., 2001. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang.

Dharma Putra,K.G, 2003, Partnership and Public Participatory Approach for Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia

Dharma Putra,K.G.,2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita Karana (THK). Dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.

Dharma Putra,K.G.,2007, Implementasi THK dalam Lingkungan Hidup Realitas, Harapan dan Rekomendasi Kebijakan, dalam Bali Is Bali Forever, Denpasar.

Keraf A.S., 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Kutines,W.M; Gerwitz, J.L., 1993, Moralitas, Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral, terjemahan oleh Soelaeman,M dari Morality, Moral Behavior, and Moral development, Penerbit Universitas Indonesia,Jakarta.

Mathieson,A. And Wall,G.,1990. Tourism,Economic,Physical and Social Impacts, London: Routledge.

Mitchell,B., Setiawan,B., Rahmi,D.H., 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Piliang,Y.A.,2004. Dunia Yang Dilipat Tamsya Melampui batas batas Kebudayaan, Bandung: jalasutra.

Ritzer,George,(2004), The Postmodern Social Theory, terjemahan oleh Muhamad Taufik, Teori Sosial Postmodern, Penerbit Juxtapose ,Jogyakarta.

Singer,P.,2001, Kelaparan,Kemakmuran dan Moralitas. dalam: May,Larry., Editor, Etika Terapan I Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta:PT Tiara Wacana.

Steiner D., Nauser M, 2003, Human Ecology Fragment of anti-fragmentary views of the world, Routledge,London.

Sutisno,M., Putranto H.,editor. 2005. Teori-Teori Kebudayaan.Jakarta: Kanisius.

Wijaya Kesuma,I.B.,2000, Tri Hita karana Konsepsi dan Penerapannya dalam Kehidupan Sosial di Bali, Makalah dalam seminar internasional Konsep dan Implementasi Tri Hita Karana dalam pembangunan Bali menyongsong pelaksanaan otonomi daerah dalam era global, Pusat Kajian Bali.

* Penulis adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana Bali, tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Peguyangan Kangin Denpasar Bali, e-mail: kgdharmap@telkom.net, Tel/Fax.0361 467712, Hp.08123970922.