Rabu, 11 November 2009

STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

(INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT/ICM)

DALAM PENGELOLAAN PANTAI DI BALI

Oleh : Dr. K.G.Dharma Putra,M.Sc

Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) – Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.

1. Pendahuluan

Dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan guna tercapainya sasaran pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan, sejak tahun 2000 Pemerintah Propinsi Bali bekerja sama dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) dalam Program Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses dinamis di dalam mana suatu strategi terkoordinasi dikembangkan dan diimplementasikan dalam rangka alokasi lingkungan, sosial budaya dan sumberdaya kelembagaan untuk mencapai sasaran konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir multi-guna yang berkelanjutan. Proyek Demonstrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu di Bali dimaksudkan untuk membantu dan membangun kapasitas daerah, baik pemerintah maupun pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), dalam melindungi dan mengelola lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir Bali.

Bersamaan dengan dipilihnya Bali sebagai lokasi demonstrasi pelaksanaan ICM di Indonesia, kegiatan pengamanan Pantai Bali yang dikenal dengan Bali Beach Conservation Project (BBCP) sedang dalam proses pelaksanaannya. Proyek yang terdiri atas Pekerjaan Perlindungan Pura Tanah Lot dan tiga pekerjaan konservasi pantai di Sanur, Nusa Dua dan Kuta sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Bali. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, sejak tahun 2000 hingga tahun 2008, pelaksanaan kegiatan pengamanan pantai Bali telah memberikan pengalaman yang berharga dalam melaksanakan suatu program pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir dan laut secara terpadu. Secara konsisten kegiatan BBCP telah mengimplementasikan pendekatan ICM dalam mendekatkan jarak antara program pemerintah dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

2. Siklus Pengembangan ICM

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ ICM) adalah pendekatan pengelolaan wilayah yang memiliki mekanisme keterpaduan program diawali dengan melakukan: (1)persiapan, (2)inisiasi, (3)pengembangan, (4)adopsi, (5)implementasi, dan(6) penyempurnaan dan konsolidasi, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan siklus yang baru seperti terlihat dalam Gambar 1.

Provinsi Bali yang telah ditunjuk oleh GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) memulai siklus ICM pada tahun 2000 dengan ditetapkannya sebuah tim lintas sektor dibantu oleh ahli dari perguruan tinggi untuk melakukan persiapan awal berupa identifikasi profil wilayah pesisir Bali Tenggara. Dalam mempersiapkan siklus ICM di Provinsi Bali, Bapedalda Bali( sekarang Badan Lingkungan Hidup ) sebagai lembaga yang dijadikan PMO (Project Management Office) sudah menyusun beberapa kegiatan yang mengikuti siklus ICM diantaranya pembentukan tim teknis ICM melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 342 tahun 2000 yang bertugas melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir di Bali sesuai dengan mekanisme ICM.

Beberapa kegiatan yang sudah dihasilkan adalah penyusunan dokumen Profil Wilayah Pesisir Bali Tenggara yang berisi potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut di wilayah Bali bagian Tenggara, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Bali Tenggara, Analisis Resiko Lingkungan Hidup, Zonasi Kawasan Teluk Benoa, serta beberapa kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan beberapa hasill dari kegiatan ICM tersebut, diharapkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Bali dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan.




Gambar 6.3

Siklus Pengembangan dan Implementasi ICM

( Sumber: Bapedalda Bali,2004)

Gambar 1. Siklus ICM

Dalam melaksanakan pendekatan ICM di Bali telah dapat diidentifikasi adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Dampak yang terjadi dari konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut telah menimbulkan keresahan masyarakat akibat terdesaknya akses masyarakat yang secara historis telah secara turun temurun menggantungkan penghidupannya di pantai serta tertutupnya akses ke pantai/laut yang dapat menghambat kelancaran masyarakat dalam melangsungkan upacara keagamaan di pantai. Dampak ini umumnya muncul karena konflik pemanfaatan ruang pantai antara beberapa aktivitas dengan kegiatan masyarakat lokal di daerah pesisir.

Kaitan antara beberapa aktivitas di wilayah pesisir dan laut yang bercampur aduk menjadi satu jaring-jaring konflik yang memberikan dampak berkelanjutan. Dari beberapa kegiatan yang ada di kawasan pesisir dan laut dapat dibuatkan suatu bagan gambaran dari hubungan antar kegiatan yang menimbulkan konflik pemanfaatan kawasan tersebut, seperti terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2

Konflik Kepentingan di Kawasan Pesisir dan Laut

3. Permasalahan Utama di Wilayah Pesisir dan Laut Bali

Pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut yang sangat beragam telah menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang secara umum dapat dibagi atas dua kategori yaitu (a) permasalahan yang berasal dari dalam wilayah pesisir dan laut itu sendiri sebagai akibat dari pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, dan (b) permasalahan yang timbul akibat kegiatan di luar wilayah pesisir dan laut yang langsung atau tidak langsung berdampak terhadap proses dan sistem wilayah pesisir.

Beberapa permasalahan lingkungan yang utama di wilayah pesisir dan laut di Propinsi Bali, sebagai akibat kegiatan pembangunan dan pemanfaatan langsung ruang dan sumberdaya serta jasa-jasa lingkungan pesisir/laut antara lain :

3.1 Penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya alam, akibat pemanfaatan yang destruktif dan eksploitasi berlebih.

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di daerah Bali telah mencapai 430 % dari potensi lestarinya sedangkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan Propinsi Bali mencapai 100,37% dari potensi lestari dan khusus di wilayah perairan tenggara Pulau Bali tingkat pemanfaatannya sudah mencapai 124,52% dari potensi lestari. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya ikan karang dan ikan pelagis. Kalau hal ini berlangsung terus maka akan terjadi penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan.

Penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan di wilayah pesisir Pulau Bali juga disebabkan oleh praktek-praktek penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal, seperti pengeboman ikan yang masih belum teratasi serta penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan beracun (potassium sianida).

3.2 Penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran dari berbagai jenis kegiatan di daratan dan di laut.

Pariwisata merupakan sektor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah Bali. Dalam hal ini wilayah pesisir dan laut menjadi andalan dalam pembangunan pariwisata di Bali, baik sebagai penyedia sarana maupun sebagai obyek wisata. Mengingat pariwisata mempunyai muatan lingkungan yang tinggi, artinya dibutuhkan kualitas lingkungan yang prima, maka masalah-masalah penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran sangat mengancam keberlanjutan fungsi dan manfaat wilayah pesisir dalam menunjang pembangunan pariwisata. Begitu juga halnya dengan pembangunan sektor perikanan, dimana kualitas lingkungan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutannya.

Perairan pesisir Pulau Bali dewasa ini telah menunjukkan indikasi adanya pencemaran bahan organik dan eutrofikasi. Demikian juga halnya dengan kontaminasi bakteri E. coliform sudah cukup tinggi di beberapa kawasan pantai terutama yang dekat dengan muara sungai.

3.3 Kerusakan habitat dan ekosistem wilayah pesisir.

Ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun di wilayah pesisir Pulau Bali mendapatkan tekanan-tekanan akibat pembangunan dan aktivitas manusia lainnya. Terumbu karang yang menjadi aset penting pengembangan pariwisata bahari di Bali cenderung mengalami peningkatan kerusakan akibat aktivitas pariwisata bahari yang tidak terkontrol dengan baik dan praktek-praktek penangkapan ikan ilegal. Hutan mangrove di Teluk Benoa yang merupakan paru-paru kota, semakin terdesak oleh tuntutan lahan untuk berbagai penggunaan lain, seperti pengembangan bandara, pengembangan pusat-pusat bisnis, pemukiman dan lain-lain. Padang lamun yang juga merupakan habitat kritis di wilayah pesisir, yang mempunyai nilai ekologis yang sangat strategis telah banyak mengalami alterasi dan pengikisan akibat reklamasi dan pengembangan budidaya rumput laut. Kerusakan habitat-habitat tersebut mempunyai implikasi terhadap penurunan nilai produksi dan nilai rekreasi/pariwisata dan nilai konservasi ekosistem-ekosistem tersebut.

3.4 Kerusakan fisik pantai akibat erosi.

Erosi pantai merupakan masalah yang paling menonjol terjadi di wilayah pesisir Bali secara keseluruhan. Erosi pantai terjadi hampir di seluruh kawasan pantai di Bali dengan laju yang berbeda-beda dan pantai-pantai menjadi kawasan pariwisata telah mengalami erosi yang paling parah, seperti pantai Sanur, Candidasa, Nusa Dua dan Kuta. Pantai-pantai wisata yang mengalami erosi tersebut selain menurunkan nilai estetika dan nilai amenitas kawasan tetapi juga mengancam beberapa fasilitas pariwisata yang ada.

Secara umum, erosi pantai di Bali telah mengancam berbagai infrastruktur, bangunan dan lahan pertanian. Disamping karena faktor alam, erosi pantai di Bali cenderung diperparah oleh ulah manusia yang melakukan intervensi berlebihan di wilayah pantai, sehingga menganggu keseimbangan proses-proses dinamis pantai. Beberapa bentuk intervensi manusia yang memperparah terjadinya erosi antara lain pelanggaran sempadan pantai, pengambilan material pantai, pembuatan bangunan pengaman pantai yang bersifat spasial, dan lain-lain.

3.5 Konflik kepentingan antar berbagai sektor kegiatan pembangunan dan pemanfaatan.

Meningkatnya kegiatan berbagai sektor pemerintah dan swasta, mendorong adanya kompetisi diantara para pelaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Kompetisi ini menyebabkan adanya tumpang tindihnya perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta. Pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan laut menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih satu dengan yang lain.

Sementara itu, sifat sumberdaya pesisir dan lautan yang multiguna serta melibatkan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan, maka konflik dalam pemanfaatan tidak terhindarkan. Konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir seringkali membawa dampak terhadap keresahan masyarakat akibat adanya ketidakadilan yang dirasakan. Konflik pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Bali, umumnya terjadi akibat tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pemanfaatan. Hal ini terjadi karena belum adanya zonasi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut untuk Provinsi Bali.

Mengingat dominannya sektor pariwisata yang memanfaatkan wilayah pesisir Pulau Bali, maka seringkali pariwisata menjadi sumber dan titik sentral dari konflik tersebut. Selain itu, konflik kepentingan juga terjadi antara konservasi dengan pemanfaatan non konservasi, dimana hal ini seringkali membawa dampak yang buruk terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.

5. Kendala dalam Pengelolaan Pantai di Bali

Berdasarkan pengamatan terhadap adanya konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan laut, terdapat beberapa isu utama yang menjadi kendala dalam pengelolaan pantai di Bali. Kendala tersebut diantaranya :

5.1 Lemahnya Kelembagaan dan Koordinasi

Belum adanya lembaga yang secara khusus bertanggung jawab dan berwenang menangani wilayah pesisir dan laut, sehingga saat ini semua pihak yang berkepentingan jalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sektor masing-masing. Hal seperti ini akan sangat potensial untuk terjadinya konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut.

Saat ini terdapat beberapa lembaga departemen dan non-departemen yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Lembaga-lembaga tersebut dalam melakukan aktivitasnya di wilayah tersebut hanya sebatas kewenangannya masing-masing yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan sektoral masing-masing lembaga tersebut, tanpa adanya koordinasi yang baik. Belum lagi kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota serta antara pemerintah kabupaten/kota yang satu dengan lainnya.

Padahal dalam hal pengelolaan wilayah pesisir yang multiguna sangat diperlukan suatu lembaga yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam hal (i) mengakomodasikan mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di kawasan pantai dan laut; (ii) mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan data dan informasi serta mekanisme diseminasinya; dan (iii)mengembangkan peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif.

5.2 Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakannya

Disamping lemahnya kelembagaan, juga perangkat hukum yang mengatur tentang batas-batas kewenangan antara satu instansi dengan instansi yang lain belum jelas sehingga hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam bertindak, juga peraturan tentang batas-batas wilayah kewenangan di laut satu daerah dengan daerah lain belum diatur.

Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir dan laut belum di atur secara khusus yang memasukkan pertimbangan-pertimbangan non-yuridis seperti pertimbangan sifat ekologisnya yang khas, ekonomi, sosial-budaya, tradisi, serta pertahanan keamanan. Masing-masing sektor yang terlibat di dalam wilayah pesisir dan laut mempunyai aturan-aturan tersendiri (sektoral) yang kadangkala saling tumpang tindih dalam hal kewenangan.

Peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dan belum operasional merupakan salah satu penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan dari rencana yang ada, karena masing-masing stakeholder baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat berusaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir seoptimal mungkin sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sementara itu, penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran aktivitas di wilayah pesisir dan laut masih belum berjalan efektif, yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan di laut, keterbatasan kapasitas aparat yang berwenang serta sarana dan prasarana yang tidak mendukung.

5.3 Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi wilayah pesisir dan laut bagi pembangunan masih rendah, begitu juga halnya dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut.

5.4 Kurangnya Perangkat Sistem Informasi

Ketersediaan data dan informasi tentang wilayah pesisir dan laut saat ini masih jauh dari memadai, baik mengenai potensi sumberdaya alam maupun kondisi lingkungannya mengingat belum banyaknya perhatian tentang sumberdaya alam ini. Disamping juga terbatasnya penguasaan teknologi kelautan akibat sumberdaya manusia di sektor ini sangat terbatas jumlah dan kualitasnya serta dukungan prasarana dan sarana penelitian masih sangat kurang.

Kurangnya data dan informasi mengenai wilayah pesisir terlebih-lebih data dan informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan juga mengakibatkan wilayah ini berkembang secara tak terkendali.

Di sisi lain, wilayah pesisir dan laut seringkali digambarkan sebagai korban-korban kurangnya pertukaran informasi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya memadukan data dan informasi yang ada untuk bahan pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Masalah yang berkaitan dengan sistem informasi dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain (i) bagaimana mencari suatu cara untuk menelusuri dan menghubungkan data/informasi tersebut menjadi suatu data bersama dalam suatu bentuk yang dapat diakses dan digunakan (ii) bagaimana cara mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan informasi yang ada kemudian membuatnya menjadi suatu yang relevan untuk diterapkan (iii) kelemahan pada seri waktu pengambilan data.

6. Peluang bagi Perbaikan Manajemen Pengelolaan Pantai di Bali

Sumberdaya pesisir dan laut di masa yang akan datang memegang peranan penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Semakin bertambahnya jumlah penduduk sementara ketersediaan sumberdaya alam di darat telah semakin menipis, maka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan laut sebagai andalan baru pembangunan nasional dan daerah menjadi semakin nyata. Adanya pergeseran konsentrasi ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi poros Asia-Pasifik yang diikuti oleh perdagangan bebas dunia tahun 2020, akan menjadikan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Indonesia sebagai aset pembangunan dengan keunggulan komparatif yang harus dikelola secara optimal.

Pesisir dan laut bagi daerah Bali dan masyarakatnya mempunyai arti yang sangat penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial budaya maupun adat istiadat dan keagamaan. Melihat karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah yang dijalankan agar manfaat wilayah pesisir dan laut tersebut dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan maka perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja manajemen wilayah pesisir dan laut, dimana salah satunya melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Seiring dengan penerapan otonomi daerah, maka ke depan ini pengelolaan wilayah pesisir dan laut menghadapi paradigma baru yaitu desentralistik dan terpadu, menimnggalkan sistem yang lama yang sentralistik dan sektoral. Perbaikan sistem manajemen tersebut perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat penunjangnya, baik aspek kelembagaan, administrasi maupun peraturan perundang-undangan yang memadai serta didukung oleh seluruh stakeholders untuk meraih berbagai peluang-peluang keuntungan sosial ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan antara lain :

Pembangunan bidang ekonomi di Propinsi Bali bertumpu pada sektor pariwisata yang dalam pengembangannya banyak memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Terlebih-lebih dalam pengembangan pariwisata alam (ecotourism) di masa yang akan datang di Bali, banyak bertumpu kepada jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti wisata bahari.

Wisata bahari merupakan alternatif pembangunan pariwisata pesisir yang berkelanjutan, yang melibatkan perpaduan budaya dan lingkungan alam sekitarnya sehingga memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat untuk menyatu dalam kegiatan tersebut. Permintaan yang cukup tinggi oleh wisatawan manca negara akan alam yang “terpencil”, “asli”, dan “eksotik”, menjadikan daerah-daerah pada negara kepulauan seperti Indonesia menjadi incaran para wisatawan.

Dengan adanya upaya perbaikan manajemen wilayah pesisir dan laut, maka kondisi lingkungan pesisir diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian pariwisata di Bali dapat berkembang dengan lebih baik sehingga perolehan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih ditingkatkan.

Peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan laut yang diharapkan dari adanya perbaikan manajemen juga akan memberi peluang terhadap pengembangan perikanan tangkap serta budidaya laut yang mempunyai prospek ekonomi yang baik dan berorientasi ekspor, serta peluang untuk mengembangkan potensi keanekeragaman hayati laut untuk menunjang industri farmasi, obat-obatan dan kosmetik. Dengan demikian masyarakat pesisir mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan meningkatnya kualitas lingkungan serta adanya perbaikan aspek administrasi/ legislasi, maka dalam jangka panjang wilayah pesisir dan laut akan berpeluang menarik lebih banyak lagi investasi-investasi baru, sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesempatan usaha serta kesempatan kerja akan meningkat.

Umat Hindu di Bali diharapkan akan memperoleh peluang untuk dapat melakukan berbagai kegiatan adat dan keagamaan di pantai dengan lebih baik dan berkesinambungan, dengan adanya penataan pemanfaatan pantai dan perbaikan fisik pantai yang diharapkan dari adanya upaya perbaikan manajemen.

7.Strategi Rekayasa Budaya dalam Pengelolaan Pantai

Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah selalu menekankan pada tiga pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan pendekatan ekonomi dalam program pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang mendasar, salah satunya adalah belum diintegrasikannya sistem manajemen lingkungan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sehingga masyarakat setempat senantiasa pada kondisi yang terhegemoni oleh kekuasaan yang direpresentasikan oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, strategi rekayasa budaya seyogyanya dilakukan dalam perencanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan memberikan peluang perbaikan melalui pendekatan budaya .

Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional sehingga dapat dipahami secara universal.

Pendekatan budaya menekankan pada aspek keseimbangan dalam memahami posisi identitas etnis dari kelompok yang bermukim di suatu kawasan. Walaupun persamaan moral yang mendasari setiap tindakan manusia diyakini memiliki kesamaan, namun perilaku terhadap alam sangat tergantung pada orientasi hidup seseorang. Dalam hal semakin bertambahnya beban limbah dan sampah yang masuk ke lingkungan di Bali sebagai akibat pertumbuhan populasi penduduk, kesepakatan tentang ketetapan standar hidup seperti penghormatan terhadap nilai keselarasan dalam Tri Hita Karana harus dipahami sebagai suatu produk budaya setempat.

Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan pantai dan kegiatan konservasi ( transplantasi karang ) di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan, dan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi, dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Sehingga kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas dan kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk.

8. Penutup

Penerapan manajemen pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu telah dilaksanakan secara konsisten dalam program pembangunan di wilayah pantai Bali. Walaupun dalam implementasinya ditemukan beberapa kendala, namun dengan memberikan penekanan pada pendekatan budaya, selain pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan kelembagaan, maka tujuan perlindungan sumber daya pesisir dan laut dapat dilakukan dengan baik.

Diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah yang memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat setempat untuk mengelola potensi sumber daya yang dimiliki dengan mengacu pada pendekatan keterpaduan program pengelolaan pantai. Dengan memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada masyarakat setempat, maka pengelolaan pantai akan lebih sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri.

Referensi

Baker, I. And P. Kaeoniam (eds.), 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Environmental and Resources Research Division, Thailand Institute of Scientific and Technological Research. Bangkok.

Burbridge, P.R., 1986. Problems and issues of coastal zone management. In Man, Land and Sea. The Agricultural Development Council. Bangkok.

Chua, T.E. 1998. Leasson learned from practicing integrated coastal management in Southeast Asia. Ambio vol. 27 No. 8 : 599-610.

Clark, J.R. 1992. Integrated Management for Coastal Zones. FAO Fisheries Department.

Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca Raton, New York, London, Tokyo.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting and M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dharma Putra,K.G., 2003, Partnership and Public Participatory Approach for Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia

Sorensen, J.C and S.T. McCreary. 1990. Institusional Arrangements for Managing Coastal Resources and Environments. Revised second edition. National Park Service, U.S. Department of the Interior and U.S. Agency for International Development. Washington .

Sukarno, N. Naamin and M. Hutomo. 1986. The status of coral reef in Indonesia. Proceeding of MAP-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem : Their Management Practices and Research/Training Needs. Bogor 4-7 March 1986, 14-16.

Sulivan, K., L. de Silva, A.T. White and M. Wijeratne. 1995. Environmental Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka. Coastal Resources Management Project of The University of Rhode Island and the Coast Conservation Department. Sri Lanka.

Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup

FMIPA Universitas Udayana

Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali.

Tel. 0361-467712, 7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712

E-mail: kgdharmap@telkom.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar