Kamis, 25 Februari 2010

UPAYA MENGATASI PENCEMARAN LINGKUNGAN

UPAYA MENGATASI PENCEMARAN LINGKUNGAN

YANG BERASAL DARI SAMPAH

Oleh. Dr.Ketut Gede Dharma Putra,M.Sc

Universitas Udayana Bali

1. Pendahuluan

Sebagai daerah tujuan pariwisata internasional, Bali sangat terbuka dengan kedatangan orang dari seluruh dunia yang memiliki latar belakang ideologi yang beragam, dengan kepentingan yang berbeda-beda. Perkembangan teknologi yang mengalir dengan mudah dan cepat, diikuti penyebaran informasi tentang segala hal baik yang bersifat positif maupun negatif, serta arus keluar masuk modal untuk kepentingan investasi atau spekulasi memberikan pengaruh terhadap perubahan kondisi lingkungan hidup di Bali.

Teknologi adalah sistem kemampuan untuk mengubah besaran sumber daya alam dan sumber daya lainnya menjadi besaran-besaran baru dengan nilai tambah yang lebih tinggi melalui proses produksi dan distribusi barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam upaya transformasi sumber daya tersebut dihasilkanlah limbah, baik limbah padat/sampah maupun limbah cair, yang dipandang oleh pihak langsung pemanfaat teknologi tersebut tidak memiliki nilai tambah, sehingga dibuang ke lingkungan. Limbah inilah yang pada tingkat tertentu menyebabkan gangguan dan kerugian bagi masyarakat dalam bentuk pencemaran lingkungan hidup dan pada akhirnya menurunkan kualitas kesehatan.

Bertambahnya jumlah penduduk berdampak langsung pada peningkatan jumlah sampah dan limbah. Apabila sampah dan limbah tersebut tidak dikelola dengan benar maka pulau Bali yang terkenal ini lama kelamaan akan dikotori tumpukan sampah. Padahal Bali dikenal sebagai pulau Sorga, pulau Dewata, atau pulau seribu pura. Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Bali dari kehancuran akibat sampah dan limbah tersebut? Tulisan ini diambil dari hasil penelitian tentang pencemaran lingkungan hidup dengan studi kasus di Kawasan Teluk Benoa Bali bertujuan untuk dapat menawarkan suatu strategi rekayasa budaya yang mengedepankan upaya bersama dari seluruh komponen masyarakat dalam menyelamatkan Bali dari permasalahan pencemaran lingkungan.

2. Pencemaran Lingkungan Hidup ( Kasus di Kawasan Teluk Benoa Bali )

Berdasarkan survey International Network for Partnership and Sustainable Development (INSPD) pada tahun 2007, disebutkan bahwa perilaku masyarakat di Kawasan Bali Selatan yang membuang sampah secara sembarangan dinyatakan sebagai penyebab terbanyak (37%) terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, sebab lainnya adalah masyarakat yang tidak mempunyai septik tank (25 %) dan masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan (18%). Ketiga pernyataan tersebut memiliki kesamaan karena menunjukkan perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan, sehingga merupakan satu kesatuan (80%). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pencemaran lingkungan hidup di Bali paling besar diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang tidak mengelola sampah dan limbah secara benar.

Studi kasus tentang pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa Bali Selatan memperlihatkan betapa pencemaran lingkungan hidup yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari kondisi kawasan permukiman yang ada di bagian hulu karena sampah dan limbah yang berakumulasi dari aliran sungai yang melintasi kawasan dari hulu ke hilir. Beberapa permukiman padat di bagian daratan mengalirkan limbah aktivitas masyarakatnya ke kawasan Teluk Benoa, yang termasuk wilayah administratif Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar dan Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan Kabupaten Badung.

Hasil pengamatan di lapangan menemukan adanya beberapa aktivitas yang berpotensi menghasilkan sampah dan limbah dalam jumlah yang besar, seperti kegiatan jasa kepelabuhan di Pelabuhan Benoa; aktivitas Bandara Internasional Ngurah Rai; aktivitas pembangkit listrik PLTD/PLTG Pesanggaran; TPA Suwung; dampak reklamasi Serangan; aliran air dari Tukad Badung dan Tukad Mati; aktivitas perdagangan, bisnis, dan transportasi, serta sampah dan limbah masyarakat. Dilihat dari seluruh aktivitas yang ada di kawasan Teluk Benoa yang mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup, terdapat kondisi yang rumit dan saling terkait.

Naradha (2004: 224), menuliskan juga penyebab pencemaran lingkungan hidup di Bali, yaitu perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan. Hal itu didapatkan dalam survei terhadap 406 pemilik telepon di Bali yang dilakukan oleh Bali Post, yang menyatakan sebanyak 322 responden (80 %) menyebutkan kerusakan tersebut akibat pemerintah kurang tegas menegakkan aturan yang ada.

Hasil penelitian INSPD (2007), sebanyak 55 orang (36,67 %), dari 150 orang yang diwawancarai, menyatakan kondisi air sungai di sekitar tempat tinggalnya tidak jernih, 38 orang (25,33 %) menyatakan agak keruh, dan 43 orang (28,67 %) menyatakan keruh sekali. Penurunan kualitas lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya dinyatakan akibat perilaku masyarakat membuang sampah langsung ke sungai (54 orang, 36 %), dan limbah cair yang dibuang ke sungai (56 orang, 37,33%). Sebanyak 82 orang (54,67 %) menyatakan sangat terganggu akibat terjadinya pencemaran lingkungan hidup di sekitar tempat tinggalnya.

Berdasarkan pengamatan, pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa dapat dilihat dengan mudah melalui banyaknya tumpukan sampah yang teronggok di pinggir jalan, di lahan-lahan kosong, di sepanjang aliran Tukad Badung dan Tukad Mati, serta sungai kecil lainnya yang mengalir ke kawasan Teluk Benoa. Demikian juga limbah yang dihasilkan aktivitas pelabuhan , bengkel dan kegiatan perdagangan, serta aktivitas domestik mengalir langsung ke saluran sungai. Warnanya yang pekat menyebarkan bau yang busuk yang berasal dari bahan pencemar yang dikandungnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa permasalahan sampah dan air limbah yang masuk ke kawasan Teluk Benoa serta masalah kependudukan merupakan faktor-faktor dominan yang menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan di kawasan Teluk Benoa. Kondisi ini, secara umum mewakili kawasan lainnya di Bali, yakni menunjukan perilaku masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan yang menyebabkan pencemaran oleh sampah.

Sejak tahun 1980-an hingga tahun 2007, sangat terasa sampah yang menuju ke kawasan Teluk Benoa semakin bertambah. Khususnya, pada bulan Oktober hingga Januari, pada masa musim angin Barat, sampah-sampah yang sebelumnya di hanyutkan ke laut lepas pada musim tersebut sering dihempaskan gelombang dari tengah laut menuju daratan. Hal itu mengakibatkan banyak sampah yang masuk kembali ke daratan melalui gelombang air laut. Pemandangan di sepanjang tepi pantai Teluk Benoa menjadi kotor karena penuh dengan sampah. Peningkatan jumlah sampah terjadi secara signifikan setelah kegiatan upacara dan hari-hari raya. Tumpukan sampah sisa upacara ini menggunung di pojok jalan dan di lokasi pembuangan.

Tumpukan sampah dapat dilihat dengan mudah di lahan-lahan kosong yang masih banyak terdapat di sepanjang Jl. By Pass Ngurah Rai, mulai dari kawasan Nusa Dua, Jimbaran, Tuban, Kuta, hingga Sanur. Kawasan kosong tersebut merupakan lahan yang termasuk milik negara, karena keberadaan hutan bakau yang menjadi kewenangan pemerintah melalui Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Berdasarkan tanggung jawab kepemerintahan, tanggung jawab pengelolaan lahan negara tersebut menjadi kewenangan pemerintah. Namun, karena tidak terpadunya kebijakan pengelolaan persampahan, kondisi sampah yang berserakan dibiarkan dalam waktu lama tanpa ada yang mengurusnya.

3.Fenomena Persampahan di Kawasan Perkotaan

Menurut Bappenas (2006:5), permasalahan sampah di kawasan perkotaan disebabkan oleh beberapa parameter yang saling berkaitan, yaitu pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan penduduk, pola konsumsi masyarakat, pola keamanan dan perilaku penduduk, aktivitas fungsi kota, kepadatan penduduk dan bangunan, serta kompleksitas problem transportasi. Kondisi perkembangan wilayah di sekitar kawasan Teluk Benoa sangat sesuai dengan uraian tersebut. Semua parameter yang disebutkan tersebut saling berinteraksi, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup.

Sebagai akibat pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan yang terkonsentrasi di kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua, Tuban, Kuta, dan Sanur, pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut meningkat cepat, sehingga kepadatan penduduknya tertinggi (7,2 %) dari wilayah lainnya (rata-rata di Provinsi Bali 1,2%). Menurut Suyoto (2008:34), jumlah sampah yang dihasilkan di suatu kawasan dinyatakan dalam besarnya timbulan sampah dikalikan dengan jumlah penduduk. Selain itu, besarnya timbulan sampah tergantung dari tingkat hidup, pola hidup serta mobilitas masyarakat, iklim, dan pola penyediaan kebutuhan hidup. Timbulan sampah rata-rata yang masuk ke kawasan Teluk Benoa Bali berasal dari penduduk yang bermukim di Kota Denpasar dan sekitarnya yang besarnya 2,5-3,0 kg/orang/hari. Dengan demikian, dapat dihitung dalam sehari timbunan sampah yang dihasilkan oleh penduduk sebanyak 430-an ton (dihitung dari jumlah penduduk di kawasan Teluk Benoa tahun 2006) dan timbunan sampah tersebut akan meningkat menjadi 603 ton per hari (berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2015). Sungguh sebuah jumlah yang sangat besar apabila dihitung dalam hitungan bulan atau tahun.

Ironisnya sampai saat ini, penanganan sampah di kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Kota Denpasar, masih dilakukan dengan paradigma konvensional, yakni “ Kumpul-Angkut-Buang” yang menyebabkan sampah bertumpuk di pinggir jalan menunggu pengangkutan untuk dibuang di tempat penampungan akhir (TPA). Apabila kendaraan pengangkut sampah mengalami masalah, tumpukan sampah yang menggunung di pinggir jalan menjadi pemandangan sehari-hari. Tumpukan sampah yang mengotori lingkungan sudah menjadi pemandangan yang biasa di Kota Denpasar dan sekitarnya.

Produksi sampah di Kota Denpasar semakin bertambah seiring dengan bertambahnya penduduk kota. Pada tahun 2004 jumlah sampah yang dikelola oleh petugas kebersihan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Denpasar berjumlah 690.804 m3 atau berkisar 1854,4 – 2017,4 m3/hari. Kondisi tersebut semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 2005 jumlah sampah yang dikelola menjadi sekitar 889.550 m3 meningkat menjadi 983.667 m3 pada tahun 2006. Permasalahan sampah di kawasan perkotaan memang menjadi momok bagi keindahan kota bersangkutan, sehingga tugas yang dibebankan kepada instansi teknis yang menangani sampah, seperti Dinas Kebersihan dan Pertamanan, merupakan tugas berat yang langsung berhadapan dengan keluhan masyarakat. Walaupun sebenarnya, pelayanan pemerintah di bidang persampahan masih sangat minim. Hal itu dapat dilihat dari data Biro Pusat Statistik yang dikutip oleh Suyoto (2008) bahwa untuk penanganan sampah di kawasan perkotaan di Indonesia baru 11,25 % sampah yang dihasilkan dapat diangkut oleh petugas pemerintah, sisanya 63,35 % sampah ditimbun/dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan 19,05 % sampah dibuang ke kali/sembarangan. Sementara itu, di kawasan pedesaan, sebanyak 19 % sampah diangkut petugas, 54 % ditimbun/dibakar, 7 % dibuat kompos, dan 20 % dibuang di kali/sembarangan. Data-data tersebut menunjukkan bahwa penanganan sampah masih dilakukan secara konvensional, bahkan sebagian dibuang di sembarang tempat.

Salah satu kendala yang dihadapi wilayah perkotaan yang semakin padat penduduknya adalah mahalnya harga lahan, sehingga untuk tempat penampungan sementara sampah sebelum diangkut oleh petugas dan tempat penampungan akhir selalu menimbulkan masalah. Apalagi untuk daerah-daerah yang permukimannya padat dan tidak ada sarana jalan yang dapat dilalui oleh truk pengangkut sampah, maka sampah dikumpulkan atau dibuang begitu saja di pinggir jalan dan di lahan kosong, sehingga menimbulkan dampak, seperti bau dan menjadi tempat hidupnya vektor penyakit.

Kebijakan persampahan yang tidak terpadu sangat bertolak belakang dengan kebijakan di bidang pariwisata, khususnya menyangkut aktivitas promosi pariwisata Bali. Sering disebutkan bahwa Bali memiliki pemandangan alam yang indah dengan lingkungan yang asri dan tempat-tempat suci yang bersih. Masyarakatnya hidup damai dan tenteram. Pujian yang sering disampaikan tersebut mulai dipertanyakan dengan semakin banyaknya pemandangan yang tidak menarik akibat tumpukan sampah yang dibiarkan begitu saja. Sampah yang dibuang di dekat lokasi tempat persembahyangan, seperti Pura Subak dalam waktu yang lama sampai menimbulkan bau dan pemandangan yang kotor, menunjukkan lemahnya penghargaan masyarakat terhadap nilai kesucian suatu tempat persembahyangan. Tumpukan sampah yang berbau tentunya akan menimbulkan gangguan terhadap aktivitas ritual, di samping gangguan terhadap keindahan. Apabila hal tersebut sampai terjadi, menunjukan ketidakterpaduan pengelolaan persampahan yang sangat parah.

Sampah tidak saja mengotori kawasan pinggir jalan atau wilayah perkotaan, namun sudah menumpuk di pinggir sungai dan di tempat-tempat kosong yang tidak terurus. Bahkan, di laut, pada musim angin Barat, tumpukan sampah mengambang dalam jumlah yang besar di atas permukaan laut sehingga mengganggu keindahan laut. Kondisi tersebut mudah dilihat di perairan Pantai Kuta maupun Pantai Tanjung Benoa yang mendapat kiriman sampah dari daratan. Padahal, masyarakat meyakini bahwa laut adalah kawasan suci yang harus dihormati. Banyaknya sampah di kawasan suci, seperti laut, menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap nilai-nilai kesucian laut. Selain itu, hal tersebut memperlihatkan komitmen yang rendah dari aparatur pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kelestarian laut.

Keluhan terhadap sampah yang tidak dikelola dengan baik sudah sering disampaikan melalui pernyataan di media atau dalam berbagai kegiatan pertemuan. Keluhan masyarakat tersebut tidak mendapat respon dengan semestinya. Beberapa pandangan yang sering disampaikan seperti masalah sampah harus segera dicarikan solusi pemecahannya, karena sudah mengotori semua wilayah, mulai dari wilayah daratan hingga di dasar laut. Masalah terbesar adalah berhubungan dengan sampah plastik, yang tidak dapat dihancurkan oleh sistem alam dalam waktu yang sangat lama. Sampah plastik ini sudah banyak mengotori terumbu karang, sehingga menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang parah.

Faktor-faktor yang menyebabkan sampah menjadi momok masyarakat dapat diuraikan menjadi tujuh bagian, sebagai berikut.

Pertama, sampah hanya ditumpuk di tempat penampungan akhir (TPA), selama pengangkutan dengan truk yang tidak representatif, sampah masih banyak yang berceceran di jalan, dan di saluran air. Selain itu, kondisi sampah campur aduk (complicated) antara sampah organik, nonorganik, dan sampah yang mengandung limbah B3, seperti batu batere, stryrefoam, PVC, bekas kaleng pestisida, botol kaca, dan lain lain. Pada musim kemarau, sampah sangat rentan dengan kebakaran akibat adanya gas methane. Apabila gas methane ini tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan magma dan ledakan yang berakibat bencana bagi kawasan sekitarnya.

Kedua, kondisi TPA sudah sangat sesak, sehingga tumpukan sampah memiliki ketinggian hingga 15 meter yang berpotensi menimbulkan longsoran yang menutup wilayah sekitarnya. Walaupun beberapa TPA sejak semula sudah didesain sebagai lokasi penampungan sampah dengan metode sanitary landfill, kenyataannya metode yang dilaksanakan adalah open dumping.

Ketiga, sebagian besar truk sampah tidak layak untuk dioperasikan, sehingga sampah dan lindi berupa cairan yang berbau tercecer di sepanjang perjalanan menuju TPA yang menimbulkan gangguan bagi pengguna jalan dan masyarakat. Walaupun jadwal angkut sampah sudah ditetapkan pada waktu transportasi sepi, seperti malam hari atau dini hari, kenyataannya seringkali pengangkutan sampah dilakukan pada jam-jam sibuk, sehingga menimbulkan kemacetan lalu lintas. Sementara itu, lindi (cairan sampah yang berbau) di lokasi TPA tidak diolah sama sekali, sehingga mencemari kawasan sekitarnya.

Keempat, hampir semua pemerintahan di daerah tidak memiliki konsep dan perencanaan yang terpadu dalam pengelolaan TPA. Perencanaan yang menggambarkan upaya pengurangan, pemanfaatan kembali, dan daur ulang, seperti konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycling) tidak berjalan dengan baik, sehingga sampah yang dihasilkan masyarakat semakin banyak setiap tahun.

Kelima, pemerintah seperti sengaja mengabaikan upaya penghijauan di sekitar TPA sebagai kawasan green belt, dan tidak dilakukan penataan bagi gubuk-gubuk liar di sekitar TPA. Tidak ditatanya kawasan sekitar TPA mengakibatkan kondisinya yang semrawut dan tidak sehat, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan bagi para pemulung dan masyarakat di kawasan sekitarnya. Interaksi antara pemulung dengan sesamanya seringkali memunculkan tindakan kriminal.

Keenam, akibat pengelolaan TPA yang buruk sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, seperti ISPA, radang paru-paru/TBC, gatal-gatal, alergi kulit, diare, anemi, disentri, infeksi telinga, infeksi mata, dan lain lain. Penyebaran penyakit yang diakibatkan pengelolaan TPA yang buruk dapat menyebar dalam radius 1 s.d. 3 Km akibat penyebaran udara.

Ketujuh, pengelolaan sampah yang tidak baik akan menimbulkan dampak ikutan berupa banjir dan longsor akibat tertutupnya saluran air drainase. Dampak banjir akan menimbulkan kerugian yang berkepanjangan bagi masyarakat, khususnya yang berada di bantaran sungai dan daerah yang rendah akibat kerusakan bangunan rumah serta penyebaran penyakit menular yang diakibatkan air yang kotor.

Pengamatan terhadap sistem pengelolaan sampah di TPA Suwung menunjukan kondisi yang sama dengan ketujuh permasalahan yang disampaikan oleh Sunyoto (2008). Bahan pencemar yang berasal dari lokasi TPA Suwung merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa, khususnya di perairan yang berdekatan dengan lokasi TPA. Kualitas air laut yang mendapat tekanan bahan pencemar telah diamati dalam kegiatan pemantauan lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga lainnya.

Hasil pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh tim pemantauan lingkungan hidup Pacific Consultant International (PCI) menunjukan adanya kandungan BOD yang tinggi di lokasi perairan laut di sebelah TPA Suwung, yang diduga berasal dari sampah dan lindi yang ada di TPA. Pada kegiatan pemantauan tahun 2004, konsentrasi BOD diukur sebesar 67,5 mg/liter, pada tahun 2005 kondisinya tidak berubah banyak yakni sebesar 72,4 mg/liter (PCI, 2004, 2005).

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali (1999:IV-123), melalui Bali Urban Infrastruktur Project (BUIP), telah melakukan pengukuran kualitas perairan di sekitar lokasi TPA di Bali sebagai rangkaian kegiatan untuk pembangunan infrastruktur publik dengan dana dari Bank Dunia. Pada pengukuran kualitas air laut di perairan dekat TPA Suwung didapatkan konsentrasi BOD sebesar 140,09 mg/L di bagian outlet kolam lindi TPA, jauh di atas baku mutu lingkungan hidup sebesar 30 mg/L. Sementara itu, konsentrasi BOD pada perairan laut di sekitarnya terukur pada konsentrasi 30,93 mg/L. Tumpukan sampah di TPA Suwung yang menghasilkan lindi yang mengalir langsung ke perairan laut di sekitarnya. Lindi yang masuk ke perairan akan meningkatkan konsentrasi BOD dalam perairan tersebut. Konsentrasi BOD yang tinggi menunjukkan adanya pencemaran akibat bahan-bahan organik yang masuk ke dalam perairan laut dan mengakibatkan terganggunya kehidupan biota perairan. Baku mutu air laut untuk kegiatan pariwisata untuk parameter BOD adalah sebesar 10 mg/liter. Jadi, melihat besarnya konsentrasi BOD di perairan laut tersebut (72 s.d. 140 mg/L) menunjukan tingkat pencemarannya yang termasuk tinggi.

Permasalahan sampah di kawasan Teluk Benoa semakin bertambah berat akibat lemahnya sistem pengelolaan persampahan di Kota Denpasar dan sekitarnya. Sampah yang dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar dibuang pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung yang masih mempergunakan metode Open Dumping, yakni menumpuk sampah begitu saja tanpa pengolahan. Kondisi itu menyebabkan luas TPA tersebut semakin menyempit, sedangkan luberan leachet (cairan sampah/lindi) masuk ke dalam perairan laut. Cairan tersebut mengandung bahan pencemar yang terdiri atas komponen fisik, seperti padatan tersuspensi dan padatan terlarut serta komponen kimia yang mengandung senyawa nitrogen, sulfat, fosfat, dan logam berat. Dalam waktu yang lama, semua polutan tersebut mengadakan interaksi dengan bahan pencemar dari kawasan lainnya, sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan hidup di kawasan Teluk Benoa.

Kebijakan pemerintah yang tidak terpadu di dalam pengelolaan persampahan dapat dilihat dari penanganan tempat pembuangan akhir sampah di Suwung yang terus bermasalah. TPA Suwung pada tahap I seluas 14,4 Ha didesain dengan sistem sanitary landfill, yakni sistem yang mengolah sampah dengan terlebih dahulu memasang suatu lapisan kedap air, pipa pengumpul air lindi, pipa ventilasi pelepas gas methane, dan kolam pengolah lindi sebelum dilepas ke perairan, serta jaringan drainase air hujan. Hingga tahun 1999, TPA Suwung tahap I telah mengalami kelebihan beban (over load) karena sampah yang masuk telah melebihi kapasitas lahan yang ada. Akibatnya, sampah yang datang kemudian disebarkan di lahan hutan bakau yang terletak di sebelah TPA Suwung tahap I, tanpa kejelasan status pengalihan lahan dari Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab terhadap keberadaan hutan bakau.

Pengembangan kawasan TPA menjadi 40 Ha memerlukan tambahan lahan sebesar 25,6 Ha yang disebut pengembangan tahap II, namun belum memiliki status lahan yang pasti. Selain itu, sampah yang datang hanya ditumpuk saja (open dumping), sehingga memerlukan areal yang terus melebar ke kawasan hutan bakau di sebelahnya. Data yang diperoleh dari hasil penelitian analisis dampak lingkungan hidup untuk kegiatan IPST Sarbagita menemukan bahwa sampah yang masuk ke TPA Suwung berjumlah 445 ton per hari (dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahun akibat pertambahan jumlah penduduk) yang berasal dari sumber sampah di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung (Dinas PU Provinsi Bali, 2001).

Kondisi TPA Suwung yang semakin banyak memerlukan lahan karena hanya menerapkan metode open dumping telah mendapat perhatian dari pemerintah pusat sebagai bagian dari program peningkatan infrastruktur publik. Oleh karena itu, pemerintah sejak tahun 2001 telah memiliki rencana membangun sistem pengolah sampah untuk wilayah Denpasar-Badung-Gianyar dan Tabanan (SARBAGITA). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh tim BUIP tempat penampungan sampah direncanakan berada di Kabupaten Tabanan karena lahannya relatif lebih murah dibandingkan dengan harga lahan di Denpasar/Badung. Namun, akibat ditolaknya tempat penampungan sampah di Dusun Mandung, Desa Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan Kabupaten Tabanan, oleh masyarakat, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Permasalahan sampah di Kawasan Bali Selatan semakin banyak mendapat sorotan, terutama karena dampak yang ditimbulkan dirasakan sudah menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat serta keindahan kawasan. Oleh karena itu, pada tahun 2005, rencana pengolahan sampah di Kawasan Sarbagita kembali diwacanakan melalui program pengembangan infrastruktur sanitasi perkotaan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. Oleh pemerintah, TPA yang akan dipergunakan adalah TPA Suwung dengan luas 22 Ha, sedangkan metode pengolahan sampah yang akan dipilih adalah sistem Galfad (Gasification, LandFill gas and Anaerobic Digestion).

Pada intinya sistem Galfad memanfaatkan seluruh materi sampah untuk diubah menjadi energi dengan produk daur ulang dalam satu proses terpadu. Proses Galfad dimulai ketika sampah dipisah-pisahkan menjadi sampah basah organik, sampah yang dapat didaur ulang, dan sampah organik kering. Sumber energi yang pertama akan diperoleh dari sampah (lama) yang sudah ada di TPA Suwung, diambil gasnya, disaring (dipisahkan), lalu digunakan untuk menggerakkan generator penghasil listrik.

Sumber energi kedua, adalah biogas dari sumber organik baru yang basah yang diambil atau diekstrak melalui proses anaerobic digestion. Anaerobic digestion adalah proses biologis untuk mengubah material organik menjadi gas yang dapat dibakar, dalam ruangan yang basah tanpa udara, sehingga menghasilkan gas methane dan carbondioxide. Biogas tersebut digunakan untuk menghasilkan listrik dari generator yang digerakan dengan panas yang ditimbulkan oleh biogas. Selanjutnya, sumber energi yang ketiga adalah berasal dari sampah kering yang diproses untuk menghasilkan gas untuk membuat uap sebagai sumber bahan bakar listrik melalui proses pyrolisis dan gasification sampah kering (Buletin Cipta Karya, 2008:9).

Dilihat dari pemaparan tentang proses dan mekanisme pengolahan sampah di TPA Suwung, sistem yang dikerjasamakan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta ini terlihat sangat menarik dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Namun, sejak disetujui sebagai suatu proyek kerjasama pada tahun 2005 sampai tahun 2008, sistem pengolahan sampah tersebut masih belum bisa dilaksanakan. Secara administratif, lahan yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan TPA Suwung merupakan kawasan hutan bakau, sehingga kepemilikan lahan tersebut merupakan kewenangan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Untuk itu, apabila lahan tersebut akan dialihkan menjadi areal TPA, tentu harus melalui prosedur alih kepemilikan dari Departemen Kehutanan kepada BPKS yang memerlukan prosedurnya dan waktu yang lama.

4. Permasalahan Sampah Sisa Upacara di Bali

Pada umumnya, masyarakat di Bali memiliki kesadaran bahwa pariwisata memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi pembangunan daerah. Menurut Erawan (1994:17) dan Bendesa (2008 :5), pariwisata memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi Bali. Namun, masa depan Bali mulai dipertanyakan apabila kondisi lingkungan hidup semakin rusak. Menurut Picard (2006:276), pencemaran lingkungan menjadi ancaman besar bagi masa depan Bali. Gangguan kebersihan dapat menyebabkan dampak terhadap perkembangan pariwisata akibat kesan negatif wisatawan terhadap pemandangan Bali yang dikotori oleh sampah.

Apresiasi yang rendah terhadap pengelolaan sampah dapat dilihat dari ketidakpedulian masyarakat terhadap sampah pada saat melakukan kegiatan upacara keagamaan. Ada kecenderungan peningkatan timbulan sampah setelah masyarakat Bali melaksanakan upacara keagamaan. Keadaan ini dapat dilihat pada saat suatu kegiatan perayaan keagamaan selesai, tumpukan sampah dibiarkan teronggok dalam waktu yang lama, sehingga menimbulkan pemandangan yang kotor. Kondisinya semakin parah karena sampah-sampah sisa upacara bercampur dengan sampah plastik yang tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme dalam waktu yang lama.

Untuk mengatasi permasalahan sampah yang semakin dirasakan dampaknya bagi kehidupan, perlu diketahui beberapa konsep terkait dengan timbulan sampah dan sumber sampah. Timbulan sampah adalah sampah yang dihasilkan dari sumber sampah/penimbul sampah, seperti rumah tangga, perkantoran, toko/ruko, pasar, sekolah, tempat ibadah, jalan, hotel, restoran, industri, rumah sakit, dan fasilitas umum. Timbulan sampah dimaksudkan sebagai acuan untuk menghitung proyeksi jumlah sampah dari masing-masing sumber untuk dapat dilakukan penanganannya, seperti untuk menentukan jumlah peralatan pengumpulan, transportasi, dan kapasitas alat proses pengolah sampah, serta luas TPA yang dibutuhkan.

Sumber penghasil sampah dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, meliputi (1) sampah rumah tangga, yang sering disebut sampah domestik sebagian besar terdiri atas sampah organik berupa sisa makanan, daun-daunan, dan sampah plastik; (2) sampah yang dihasilkan dari kantor, toko, pasar, dan sekolah sebagian besar berupa kertas dan plastik; (3) sampah jalan adalah yang dihasilkan dari jalan pada umumnya didominasi dari potongan dahan dan daun-daunan; (4) sampah hotel dan restoran biasanya terdiri dari pembungkus makanan (kertas, plastik), tisue, botol minuman, dan sisa makanan; dan (5) sampah rumah sakit dan industri merupakan sampah yang komposisinya lebih kompleks, yakni berupa sampah organik dari sisa makanan, kertas, plastik, jarum suntik bekas, sarung tangan bekas operasi, kapas bekas luka, hingga sampah B-3 (bahan berbahaya dan beracun).

Selain itu, terdapat sumber sampah dari tempat ibadah dan kegiatan upacara yang sebagian besar terdiri atas sampah organik, seperti daun-daunan, buah-buahan, canang, bambu, dan kain. Pada masa lalu, semua sampah hasil sisa upacara/ibadah dapat segera didekomposisi dengan bantuan mikroorganisme karena merupakan sampah organik. Di samping itu, lahan yang tersedia di sekitar areal tempat suci/ibadah masih luas untuk menampung sampah tersebut. Kondisi sekarang sudah jauh berbeda. Areal di sekitar tempat suci/tempat ibadah sebagian besar memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga sudah terbangun menjadi kawasan permukiman, perdagangan, maupun pertamanan. Terlebih lagi, akibat peningkatan penghasilan masyarakat Bali, sarana upacara yang dibuat mengalami peningkatan pula. Akibatnya, timbulan sampah menjadi semakin bertambah. Sampah yang berasal dari aktivitas ibadah, saat ini semakin banyak jumlahnya, seperti dapat dilihat di pinggir sungai atau di pantai.

Kebijakan pemerintah yang tidak terpadu dalam pengelolaan persampahan mengakibatkan selalu muncul permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh sampah. Menurut BUIP (1999), kebijakan pengelolaan persampahan tidak menarik perhatian swasta karena iklim investasi yang kurang kondusif untuk menarik keikutsertaan pihak swasta dalam bidang pengelolaan persampahan. Kondisi tersebut selain disebabkan oleh nilai ekonomi sampah yang rendah, juga disebabkan oleh peran birokrasi pemerintahan yang kurang siap menerima keikutsertaan swasta dalam pengelolaan persampahan.

Laporan BUIP (1999) menyebutkan bahwa program pengelolaan persampahan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah daerah ternyata hanya untuk mendapatkan predikat ”Adipura”, suatu penghargaan dari Pemerintah Pusat terhadap kebersihan suatu daerah, bukan upaya untuk membangun ”budaya bersih” di kalangan warganya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan mendapatkan penghargaan Adipura, dilakukan berbagai cara yang cenderung berupa pemaksaan dan formalitas untuk tujuan jangka pendek. Pemaksaan dimaksud termasuk pula dalam pengerahan penggunaan dana yang diambil dari alokasi program lainnya. Di kalangan masyarakat, ada pendapat bahwa perolehan trofi Adipura suatu daerah hanyalah untuk mempertahankan kedudukan pada pejabat. Permainan dalam bentuk Korupsi-Kolusi-Nepotisme pun dilakukan mengingat kegiatan Adipura memerlukan dana yang cukup besar.

Permasalahan persampahan dilihat dari aspek organisasi pengelolaan menunjukan pola organisasi yang tidak mengacu pada volume pekerjaan. Perilaku aparat di instansi yang menangani sampah masih menggunakan paradigma konvensional sebagai pegawai negeri atau pegawai harian yang belum secara optimal melakukan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dari sisi jumlah dan upah masih kurang memenuhi azas keadilan, padahal pekerjaan (khususnya petugas kebersihan di jalan) sangat berisiko, baik bagi keselamatan maupun kesehatan.

Sistem pengangkutan sampah, umumnya, menimbulkan gangguan dari aspek estetika berupa ceceran sampah dan bau di sepanjang lintasan truk pengangkut sampah. Gangguan kelancaran lalu lintas pada saat pengangkutan menjadi keluhan masyarakat sebagai akibat kemacetan lalu lintas pada saat truk sampah berhenti di jalan yang sempit. Upaya untuk memperlebar ruas jalan di kota mengalami hambatan karena banyaknya bangunan rumah dan tempat ibadat di pinggir jalan yang sulit untuk dibongkar.

Permasalahan sampah sebagai faktor dominan yang menimbulkan pencemaran lingkungan hidup berkaitan juga dengan belum berbudayanya pemisahan sampah organik dan nonorganik dari sisi si penimbul sampah, baik yang bersumber, baik dari rumah tangga, pasar, kantor, hotel, maupun rumah sakit/industri. Hal itu disebabkan oleh masih kurangnya kesadaran akan kebersihan dan tanggung jawab dari penimbul sampah. Selain itu, ada sebagian masyarakat beranggapan, walaupun di rumah tangga sampah sudah dipisahkan, tetap saja pada saat pengangkutan petugas menggabungkan kembali sampah yang sudah terpisah, karena belum didukung oleh sistem pengumpulan yang terpisah.

Berdasarkan observasi, pembayaran iuran angkutan sampah yang dibayar masyarakat di Kota Denpasar cenderung lebih tinggi (rata-rata Rp.10.000,00) daripada uang restribusi kebersihan yang ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum menetapkan iuran sampah sebesar Rp.3.000,00. Kenyataanya di lapangan menunjukkan bahwa pembayaran restribusi/iuran sampah tidak berarti sampah dari rumah diangkut oleh petugas pemerintah (DKP). Kondisi itu mendorong masyarakat atau lembaga sosial di tingkat banjar/lingkungan ikut mengelola masalah sampah secara swakelola, sehingga masyarakat masih harus membayar lagi. Pada beberapa kawasan, pungutan sampah per bulan bahkan sampai berkisar antara Rp.10.000 s.d.Rp.30.000,-.Hal ini menunjukan beban biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk menangani sampahnya cukup besar. Namun pada beberapa kawasan yang tidak terlayani, sampah hanya dibuang ke lahan kosong atau pinggiran sungai yang akhirnya di bawa aliran air permukaan maupun air sungai menuju areal yang lebih rendah. Untuk wilayah Bali Selatan, kawasan Teluk Benoa menjadi kawasan tempat berkumpulnya sampah yang berasal dari wilayah daratan karena posisinya yang rendah.

Fenomena semakin besarnya timbulan sampah setelah kegiatan upacara keagamaan menjadi menarik untuk dicarikan jalan keluarnya karena berkaitan dengan budaya masyarakat Bali beryadnya. Tentu kita harus berbangga melihat begitu besarnya hasrat masyarakat dalam menjalankan ibadah agama. Namun, seharusnya ada kebijakan pemerintah yang terpadu dalam mengatasi dampak dari timbulan sampah sisa upacara sehingga tidak menjadi kontra produktif dengan keyakinan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan yadnya. Padahal dalam filosofi Hindu, sisa persembahan disebut prasadam yang idealnya dapat dinikmati habis oleh umat, karena prasadam atau surudan dipercaya memiliki tuah spiritual. Disisi lain, banten sebenarnya memiliki dua fungsi yakni sebagai nyasa(simbol) dan sebagai persembahan. Artinya secara harfiah sisanya setelah dilaksanakan upacara merupakan anugrah yang dapat dinikmati oleh manusia maupun mahluk hidup lainnya (Putrawan,2009:9). Dalam artian ini, seharusnya fenomena sampah sisa upacara tidak harus merugikan, karena apapun bentuknya sisa upacara tersebut harus diperlakukan dengan baik dengan mengolahnya menjadi sesuatu yang tetap berguna, baik bagi manusia maupun bagi kegiatan lainnya.

5.Strategi Rekayasa Budaya dalam mengatasi permasalahan sampah

Bagi Pulau Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia, fenomena pencemaran lingkungan hidup merupakan sebuah ironi. Sebagai kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Bali yang menjadi lokasi hotel, restoran, dan beragam fasilitas perdagangan dan bisnis yang berkelas dunia, seharusnya kawasan tersebut menampilkan kualitas daerah yang sesuai dengan citra daerah tujuan wisata internasional. Namun, fakta-fakta yang menunjukkan peningkatan pencemaran lingkungan hidup di kawasan yang telah berkembang menjadi segitiga emas pertumbuhan ekonomi Bali tersebut sangat memprihatinkan. Apalagi, masyarakat Bali sebagai pendukung budaya setempat dikenal luas memiliki konsep nilai yang mengedepankan keharmonisan dengan alam; sangat menghargai keindahan; dan nilai-nilai spiritual seharusnya memberikan kontribusi yang besar pada pembentukan citra kawasan yang baik.

Refleksi yang dapat ditarik dari kondisi yang paradoks tersebut dimulai pada periode tahun 1980 s.d. 1990-an ketika pemerintah mulai melaksanakan pembangunan fasilitas kepariwisataan di Pulau Bali secara besar-besaran tanpa diimbangi dengan perencanaan yang terpadu terhadap sistem pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Pada periode tersebut pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas energi listrik, sarana air minum, perbaikan fasilitas pelabuhan laut, dan bandara internasional yang diikuti dengan pembangunan hotel, restoran, dan fasilitas pariwisata lainnya, menyebabkan peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan perekonomian Bali. Wacana pembangunan pariwisata telah mendominasi sektor pembangunan di Bali. Pemerintah daerah memberikan peluang yang sangat besar kepada kelompok pemodal untuk memanfaaatkan potensi sumber daya alam Bali di bidang pariwisata dengan mengeluarkan kebijakan tentang tata ruang wilayah dalam bentuk kawasan pariwisata.

Diskursus pembangunan fasilitas kepariwisataan akan menciptakan lapangan kerja yang akan meningkatkan ekonomi masyarakat. Akhirnya, menjadi jargon politik. Pembangunan pariwisata disebutkan sebagai satu-satunya pembangunan yang tidak bertentangan dengan budaya masyarakat dan sangat ramah lingkungan. Jargon tersebut yang disampaikan secara terus-menerus oleh aparat pemerintah, dibantu kelompok intelektual organik yang digaji investor untuk kepentingan bisnisnya. Berbagai upaya dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada wisatawan yang diharapkan akan membawa berkah ekonomi bagi Bali. Pembangunan resor, hotel, dan fasilitas pariwisata memerlukan lahan yang luas sehingga berbagai cara dilakukan untuk memenuhi tuntutan investor. Lahan-lahan milik negara atau tanah adat diberikan hak pengelolaan kepada kelompok konglomerat. Bahkan, cara-cara kekerasan dan intimidasi tidak segan-segan dilakukan oleh para pemodal dengan memanfaatkan kekuasaan aparat militer dan pemerintah setempat untuk menguasai lahan milik masyarakat.

Berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi pada periode tahun 1980 s.d. 1990-an didapatkan adanya keterlibatan pemerintah yang sangat sistematis dalam membantu kelompok investor dalam mewujudkan keinginannya untuk menguasai potensi sumber daya alam untuk kepentingan bisnisnya. Beberapa kebijakan pemerintah, seperti Keputusan Gubernur Bali No 15 Tahun 1988 tentang 15 Kawasan Wisata, yang kemudian direvisi menjadi Keputusan Gubernur Bali No. 528 Tahun 1993, yang diikuti dengan persetujuan prinsip pembangunan fasilitas kepariwisataan, sangat memudahkan kelompok investor untuk menguasai kawasan-kawasan yang strategis di Bali. Pembangunan kawasan hotel atau resor di kawasan Bali Selatan berlangsung seperti efek domino, dimulai dari pembangunan di kawasan Nusa Dua, Kuta, dan Sanur kemudian menyebar ke wilayah Tanjung Benoa, Benoa, Jimbaran, dan kawasan lainnya, termasuk yang bukan ditetapkan sebagai kawasan wisata. Berbagai bentuk pelanggaran tata ruang wilayah mulai terjadi dengan keberpihakan aparatur pemerintah yang memberikan kemudahan perizinan kepada kelompok pebisnis, tanpa diikuti dengan penegakan hukum lingkungan hidup yang memadai.

Fenomena kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup terjadi karena pemerintah terlambat merencanakan sistem pengelolaan lingkungan hidup untuk mengatasi pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan berbagai polutan yang dihasilkan dari aktivitas pembangunan. Hal ini dapat dilihat dari realitasnya, hingga tahun 2005 karena pemerintah Bali belum memiliki suatu sistem pengolahan sampah dan air limbah yang mampu mengatasi permasalahan peningkatan polutan ke lingkungan hidup secara terpadu. Beberapa fasilitas yang ada, tidak berfungsi secara optimal karena lemahnya kinerja pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup menyebabkan permasalahan pencemaran lingkungan hidup. Akhirnya, meledak sebagai suatu permasalahan yang berdampak luas ke berbagai segi kehidupan masyarakat. Ketika pemerintah mulai merencanakan program pengendalian pencemaran lingkungan hidup dengan merancang pembangunan instalasi pengolahan sampah/IPST Sarbagita, instalasi pengolahan air limbah/DSDP dan proyek pengamanan pantai Bali/BBCP, kondisi perpolitikan negara sedang mengalami pengalihan dari rezim Orde Baru yang totaliter kepada pemerintahan Rezim Reformasi yang menghambat terlaksananya program-program tersebut.

Pada awal tahun 1998-an ketika rencana program pengelolaan lingkungan hidup untuk mengendalikan permasalahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Bali mulai digagas oleh pemerintah, masyarakat sedang berada pada suatu kondisi yang dipengaruhi oleh eufora kebebasan berpendapat dan otonomi daerah. Berbagai elemen masyarakat mulai mempertanyakan secara kritis program-program pemerintah yang dilaksanakan di daerahnya. Tuntutan terhadap keterbukaan informasi tentang perencanaan pembangunan di daerahnya dan kompensasi yang terkait dengan dampak yang akan terjadi semakin banyak disuarakan melalui pertemuan formal dan informal. Peranan media, baik cetak maupun elektronik, dalam menyampaikan aspirasi masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap upaya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan di daerahnya.

Pada masa yang akan datang, agar program pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan berhasil, diperlukan suatu strategi rekayasa budaya untuk meningkatkan peran intelektual setempat dalam menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah, khususnya di bidang pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Kesadaran masyarakat terhadap upaya menyelamatkan masa depan Bali perlu dibangun sejak awal, salah satunya dengan mulai mengurangi pencemaran lingkungan hidup di Bali, melalui strategi rekayasa budaya dengan melaksanakan konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang) untuk setiap bidang kehidupan masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan dalam semua hal mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, dan ritual.

Strategi rekayasa budaya untuk membangun kesadaran masyarakat Bali dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali dapat dilaksanakan secara efektif dengan mulai menawarkannya dalam kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi (reduce) pemanfaatan sarana upacara/upakara yang berlebihan dalam aktivitas ritual dan lebih banyak meningkatkan pemahaman terhadap esensi sradha agama melalui penerapan Catur-marga secara seimbang dalam pencapaian kesempurnaan rohani. Catur-marga terdiri atas (1) Bhakti-marga, ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta kasih yang setulus-tulusnya dengan cara berbakti, biasanya dilaksanakan dengan sarana upacara dan upakara; (2) Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan/imbalan, biasanya dilaksanakan dengan tekun bekerja di bidang masing-masing; (3) Janana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan, biasanya dilaksanakan dengan mengamalkan ilmu pengetahuan kepada yang memerlukan; dan (4) Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-berata yang tekun dan disiplin, biasanya dilaksanakan dengan kegiatan meditasi, yoga, maupun penyucian diri. Melalui pelaksanaan ajaran Catur-marga yang seimbang, penggunaan bahan-bahan konsumsi dalam pelaksanaan ritual keagamaan perlu lebih disederhanakan pada hal-hal yang pokok saja atau diupayakan untuk pemanfaatan kembali (reuse) sarana upakara yang masih mungkin digunakan kembali yang disesuaikan dengan ketentuan sastra agama. Selanjutnya, kalau memungkinkan dilakukan aktivitas daur ulang (recycling) sarana upakara tersebut sebagai langkah yang sangat tepat dalam rangka pelestarian sumber daya alam. Strategi rekayasa budaya dapat diwujudkan dengan memberikan porsi yang lebih besar terhadap peran tokoh masyarakat dan intelektual setempat untuk mengimplementasi nilai-nilai keselarasan hidup yang berlandaskan falsafah Tri Hita Karana.

Peran yang strategis dilakukan oleh tokoh masyarakat dan intelektual setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap nilai-nilai kearifan lokal berdasarkan perspektif kajian budaya dapat menjadi counter hegemony dalam menyikapi fenomena pencemaran lingkungan hidup akibat peningkatan timbunan sampah dan limbah. Perspektif kajian budaya memberikan nilai yang setara terhadap masalah-masalah yang sebelumnya dianggap marginal, seperti keberadaan sampah maupun limbah. Pada pengertian lama, sampah dan limbah dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, kotor, dan harus dihindarkan. Namun, sesuai dengan realitas yang ada, setelah keberhasilan para tokoh masyarakat dan intelektual setempat dalam memberikan pemahaman yang lebih rasional tentang pentingnya memberikan apresiasi terhadap keberadaan sampah dan limbah pada posisi yang sewajarnya, muncul pengetahuan baru yang menempatkan sampah dan limbah sebagai sesuatu yang penting, bernilai, dan harus dihargai sewajarnya. Pada pengertian yang baru, sampah dan limbah adalah sesuatu yang harus ditempatkan sebagai hal yang penting. Sampah dan limbah dapat memiliki nilai ekonomi dengan mengubahnya menjadi pupuk, sumber energi, atau materi yang berguna lainnya. Proses pengolahan sampah dan limbah menjadi material yang berguna, berdasarkan perspektif kajian budaya, merupakan proses yang mulia sehingga harus dihargai sewajarnya, sama seperti proses produksi lainnya.

6.Penutup

Permasalahan pencemaran lingkungan hidup disebabkan terutama oleh perilaku manusia yang tidak mengelola limbah dan sampah dari aktivitasnya secara benar. Oleh karena itu, gerakan mengubah limbah dan sampah menjadi benda yang masih bisa bermanfaat bagi manusia dan lingkungan merupakan tugas yang mulia yang sepantasnya dihargai seperti kegiatan masyarakat lainnya.Memuliakan pekerjaan yang berhubungan dengan barang-barang sisa tentunya harus diikuti dengan penghargaan yang wajar terhadap orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga agar sampah dan limbah yang dihasilkan secara benar harus dimulai dengan contoh dan tindakan nyata. Gerakan pengendalian lingkungan hidup harus dimulai dari pusat-pusat kegiatan masyarakat seperti kawasan pendidikan, pura, pasar, dan pemukiman. Semuanya hanya akan berhasil dengan baik apabila kebijakan pemerintah benar-benar diarahkan bagi pelayanan publik yang baik dan berkeadilan.

Daftar Pustaka

Asrama, B., Seeking, K. 2003. Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Penerbit Bali Post dan Pemda Bali.

Asrama, B.2005. Disharmoni Mengganggu Seluruh Aspek Kehidupan. dalam Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditations. Denpasar: Penerbit Bali Travel News dan Pemda Provinsi Bali.

Bendesa, I.K. 2008. Ekonomi Bali dalam Perspektif Pariwisata dan Lingkungan,,Makalah. Denpasar: Panitia Pelaksana Kongres Kebudayaan Bali I Tahun 2008.

Erawan, I N. 1994. Pariwisata dan Pembangunan Ekonomi (Bali Sebagai Kasus).Denpasar: Penerbit Upada Sastra.

International Network for Partnership and Sustainable Development/INPSD. 2007. Persepsi Masyarakat di Kawasan Sanur,Kuta, dan Nusa Dua terhadap Penurunan Kualitas Lingkungan. Laporan Survai. Denpasar: Yayasan Pembangunan Bali Berkelanjutan.

Laksmiwati, I.A.A. 2006. Urbanisasi dan Isu Lingkungan di Kota Denpasar. Dalam: Wacana Antropologi. Editor IB G Pujaastawa. Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Naradha, A.B.G.S. 2004. Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Penerbit Bali Post.

Picard, M. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Penerjemah. Jean Couteau dan Warih Wisatsana. Jakarta: KPG(Kepustakaan Populer Gramedia, Forum Jakarta–Paris.

Putra, K.G.D. 2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita Karana (THK). dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.

Putra, I.G.A.M. 2007. Upakara-Yadnya. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Suyoto, B. 2008. Fenomena Gerakan Mengolah Sampah. Jakarta: PT Prima Infosarana Media.

Bapedalda Provinsi Bali. 2007. Status Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi Bali Tahun 2007. Denpasar.

Bappenas. 2006. Sanitasi Perkotaan: Potret, Harapan, dan Peluang. Jakarta: Indonesian Sanitation Sector Development Program, Bank Dunia.

Bappenas. 2007. Kiat Kerja Sanitasi di Kawasan Kumuh Petikan Hasil Studi Sanitasi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Perkotaaan. Jakarta: Indonesian Sanitation Sector Development Program, Bank Dunia.

Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. 1998. Analisis Dampak Lingkungan Hidup Proyek Pembangunan Jaringan Air Limbah di Kabupaten Badung dan Kotamadya Denpasar. Jakarta: Direktorat Jendral Cipta Karya Bagian Proyek Pembinaan Teknik Penyehatan Lingkungan Pemukiman.

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. 2003. Review Studi Andal Rencana Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Denpasar. Denpasar: Pacific Consultant International dan Yayasan Pembangunan Bali Berkelanjutan.

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali. 1999. Pengelolaan Persampahan di Bali dan Kemungkinan Untuk Kerjasama Swasta-Pemerintah. Denpasar: Bali Urban Infrastruktur Project (BUIP).

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali. 2001. Studi Andal Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) Sembung Gede di Kabupaten Tabanan. Denpasar: CV Sad Cipta Laras.

GEF/UNDP/IMO. 2002. Profil Lingkungan Wilayah Pesisir Bali Tenggara. Denpasar: Programme on Partnership in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA).

Pasific Consultant International (PCI). 2004. Laporan Pemantauan Lingkungan Hidup. Denpasar: Denpasar Sewerage Development Project.

Pasific Consultant International (PCI). 2005. Laporan Pemantauan Lingkungan Hidup. Denpasar: Denpasar Sewerage Development Project.

Putrawan.N.2009.Menyikapi Limbah Sampah Upacara &Ritual Hindu. Majalah Radytya disi Juli 2009.

UNEP-United Nations Environment Programme. 2004. Training Manual on National Sustainable Development Strategy. Klong Luang: Regional Resource Centre for Asia and Pasific.

*Penulis adalah Staf Pengajar di FMIPA Universitas Udayana Bali, tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Peguyangan Kangin Denpasar Bali, e-mail: kgdharmap@telkom.net, Tel/Fax.0361 467712, Hp.08123970922.