PENCEMARAN LINGKUNGAN ANCAMAN MASA DEPAN BALI
Dr. Ketut Gede Dharma Putra MSc
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
Kampus Bukit Jimbaran
Email: kgdharmap@mipa.unud.ac.id
I. Pendahuluan
Pulau Bali yang dikenal sebagai salah satu “pulau terindah di dunia” saat ini menghadapi ancaman pencemaran lingkungan hidup yang parah. Hal ini bisa dilihat secara kasat mata dari semakin banyaknya sampah yang berserakan, terutama di kawasan pemukiman padat perkotaan serta bau yang menyengat dari air selokan yang buntu akibat tergenang cukup lama tanpa ada pengelolaan. Beberapa hasil penelitian tentang kualitas air (sungai dan laut), khususnya di Kawasan Teluk Benoa, menunjukan tingkat pencemaran yang tinggi. Di samping itu, di beberapa kawasan padat lalu lintas, tingkat pencemaran udara semakin bertambah setiap tahun. Tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi sangat mengkhawatirkan apabila dikaitkan dengan ketergantungan ekonomi masyarakat Bali pada pariwisata. Bila di masa yang akan datang polutan yang masuk ke lingkungan sudah jauh melebihi kemampuan daya dukung lingkungan Bali, maka pulau yang dikenal sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia ini akan ditinggalkan. Pada saatnya nanti, masa depan Bali benar-benar sangat kritis apabila tidak dilakukan langkah-langkah penyelamatan yang terpadu dan tepat sasaran.
Salah satu upaya penyelamatan masa depan Bali dari ancaman kerusakan lingkungan yang semakin parah adalah dicanangkannya Program Bali Clean and Green. Mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih merupakan sebuah gagasan yang cerdas. Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Sorga, Pulau Dewata, dan berbagai julukan indah lainnya tentu harus diimbangi kenyataan bahwa memang Bali adalah pulau yang indah, memiliki aura kesucian yang tinggi, bersih, aman, dan nyaman. Apakah program tersebut akan tepat sasaran, marilah kita lihat hasilnya nanti. Tapi dukungan semua pihak memang sangat diperlukan dalam menyelamatkan masa depan Bali ini.
2. Permasalahan Lingkungan Bali
Secara umum, permasalahan lingkungan hidup yang menjadi tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama adalah terkait dengan potensi sumber daya alam yang semakin kritis, seperti keberadaan kawasan hutan di Bali yang belum mencapai luas yang ideal dan kondisi yang optimal. Luas lahan kritis di Bali semakin bertambah akibat perubahan alam dan aktivitas manusia. Lahan hijau semakin berkurang akibat desakan kebutuhan terhadap pembangunan pemukiman , akomodasi pariwisata, sarana dan prasarana infrastruktur dan lain lain. Secara kuantitas, potensi air bersih semakin berkurang setiap tahun, karena berkurangnya sumber air baku yang disebabkan oleh mengecilnya debit dan menurunnya kualitas air oleh adanya pencemaran. Berkurangnya cadangan air tanah diakibatkan oleh pengambilan yang melampaui kemampuannya, sehingga potensi air tanah menjadi menurun. Selain itu, kawasan terbuka hijau semakin hari semakin mengecil yang diikuti alih fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan terbangun. Hal ini banyak dijumpai di kawasan yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan pariwisata, pada daerah-daerah yang padat permukiman, atau pada jalur sepanjang jalan baru. Bahkan intrusi air laut sudah sudah dijumpai pada air tanah pantai di kawasan pariwisata Sanur, Kuta dan sekitarnya. Sedangkan pencemaran air permukaan telah pula terjadi pada sungai-sungai yang terutama berada di Kota Denpasar dan Badung.Tentu sangat tidak mungkin mengharapkan terjadinya peningkatan kawasan hijau yang subur di suatu kawasan apabila tidak tersedia cadangan air yang memadai. Selain itu, bertambahnya kawasan pantai yang mengalami abrasi merupakan masalah lingkungan yang sangat serius, karena telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil akibat hilangnya lahan-lahan penduduk serta rusaknya fasilitas umum.Permasalahan ketersediaan air ini merupakan tantang terbesar Program Bali Hijau, karena tidak mungkin tumbuhan dapat hidup dengan baik tanpa ada persediaan air yang memadai. Oleh karena itu, pemerintah dan para pihak terkait benar-benar harus serius menangani permasalahan air ini apabila ingin program mewujudkan Bali Hijau tidak hanya program wacana.
Kedua, tantangan mewujudkan Bali sebagai Provinsi yang Bersih berasal dari perilaku masyarakat dan aktivitas jasa/industri berkaitan dengan produksi sampah dan limbah. Masalah sampah dan limbah dijumpai terutama pada daerah-daerah yang mempunyai laju pembangunan yang cukup pesat, seperti Kota Denpasar dan Badung saat ini telah menjadi momok yang menakutkan. Memang masalah ini selalu akan berkaitan dengan jumlah dan aktivitas penduduknya, karena makin besar jumlah penduduk dan aktivitasnya makin besar pula jumlah sampah dan limbah yang dihasilkan. Tata ruang perkotaan yang mengabaikan asas keterpaduan antar sektor menimbulkan konflik dalam pengendalian masalah yang terjadi setelah adanya kegiatan pembangunan. Bila tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang terpadu, khususnya dari aspek pengendalian dan penegakan hukum yang konsisten, maka masalah sampah dan limbah ini akan menjadi ancaman serius terhadap masa depan Bali. Kerbersihan udara Bali saat ini juga semakin terusik dengan semakin banyaknya polutan yang masuk ke dalam udara ambien. Akibat tidak tersedianya sistem transportasi publik yang memadai, sehingga memicu peningkatan kepemilikan kendaraan bermotor berdampak pada peningkatan pencemaran udara dan kebisingan. Penggunaan bahan bakar minyak (HSD/MFO) pada pembangkit listrik di Bali memberikan kontribusi terhadap perubahan kualitas lingkungan di sekitarnya seperti pencemaran air, udara, kebisingan dan getaran.
Ketiga, tantangan Program Bali Clean and Green juga berasal dari aspek sosial masyarakat Bali. Semakin bertambahnya penduduk pendatang yang bermukim di kawasan perkotaan yang padat serta masih ditemukannya penduduk miskin di Bali akan berkaitan dengan permasalahan lingkungan seperti perambahan hutan, pelanggaran tata ruang wilayah, pemukiman kumuh maupun masalah sanitasi yang buruk. Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan yang rendah, terutama pada aspek perizinan usaha, korupsi, kolusi, dan nepotisme memiliki kaitan dengan sikap apatisme masyarakat Bali terhadap program-program pembangunan.Di samping itu, sikap mau menang sendiri, arogran, dan mementingkan diri sendiri, kelompok dan golongan akan mendorong tindakan yang mengabaikan rasa kesetiakawanan sosial,gotong royong, dan empati yang sangat penting dalam pengendalian terhadap permasalahan lingkungan.
Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Bali tentunya memerlukan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang konsisten dan terpadu. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan partisipasi para pihak terkait dan perubahan perilaku masyarakat dalam memandang laju proses pembangunan. Harapan agar konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menyeimbangkan aspek ekonomi, budaya dan lingkungan menjadi harapan bersama dalam mewujudkan Bali yang maju dan sejahtera.
3. Peran Para Pihak dalam Mengatasi Ancaman Pencemaran Lingkungan
Pembangunan di suatu kawasan dengan segala aktivitasnya akan menyebabkan perkembangan wilayah yang menimbulkan berbagai implikasi. Selain menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang mengakibatkan terciptanya lapangan kerja baru, perkembangan wilayah dapat menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Pemekaran dan pengembangan kawasan cenderung terus membengkak dan menimbulkan fenomena pembangunan fisik struktur menuju arah maksimal, sedangkan pengembangan ruang terbuka hijau menuju arah minimal, terjadi kecenderungan perubahan wajah lingkungan alam. Perubahan bentang alam yang terjadi akibat pembangunan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan dalam waktu yang lama.
Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali perlu dihadapi dengan ketersediaan program pengendalian yang terpadu dan konsisten yang diimbangi dengan kecukupan dukungan sumber daya. Keberadaan tiga pilar utama yakni pemerintah, sektor industri/bisnis, dan masyarakat perlu bersatu padu mengatasi permasalahan pencemaran lingkungan ini. Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang. Sebagai regulator dan eksekutor pembangunan, peran pemerintah adalah yang utama dalam menghancurkan ancaman yang ada. Sementara itu, sektor industri sebagai kelompok bisnis yang melaksanakan kegiatan di bidang produksi dan jasa merupakan pilar pembangunan yang sangat strategis sebagai mitra pemerintah dan penyokong masyarakat. Peran masyarakat sebagai subjek dan objek pembangunan menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan masa depan Bali dari ancaman pencemaran lingkungan.
Peran pemerintah dalam mengendalikan ancaman pencemaran lingkungan merupakan konsekuensi dari tugas negara untuk menguasai dan mengamankan potensi sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam menjalankan perannya, pemerintah berkewajiban mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan dan menerapkan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup meliputi undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri hingga peraturan daerah, dan keputusan gubernur/bupati/walikota telah banyak disiapkan bersamaan dengan perangkat pendukungnya.
Peran pemerintah yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah dalam menggali potensi sumber daya alam untuk sebanyak-banyaknya dilakukan demi kemakmuran masyarakat. Peran tersebut tersurat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Fenomena peningkatan pencemaran lingkungan hidup merupakan implikasi dari kebijakan pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan pembangunan Bali. Peran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang sangat berpihak kepada pembangunan kepariwisataan, seperti kebijakan tentang kawasan pariwisata, didasari pada data empiris yang menunjukan pariwisata merupakan sektor pembangunan yang memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan perekonomian masyarakat. Pendapatan masyarakat Bali meningkat tajam sejak pariwisata mulai dikembangkan sebagai sektor unggulan yang diikuti dengan penurunan angka kemiskinan.
Wewenang dan tanggung jawab dalam pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dalam peraturan perundangan dimiliki oleh pemerintah. Gubernur beserta bupati/walikota merupakan pejabat yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan dan tindakan-tindakan untuk pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup serta mengembangkan pendanaan guna terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Namun, keberpihakan dari para pejabat publik untuk melakukan kegiatan yang mampu mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup selalu terlambat dibandingkan dengan kebijakan untuk mendukung investasi. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah lebih banyak memberikan dukungan terhadap kegiatan investasi apabila dibandingkan dengan melakukan tugasnya dalam mengendalikan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Padahal, permasalahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup berakibat langsung kepada penurunan kualitas hidup masyarakat.
Peran fundamental pemerintah adalah memberikan pelayanan di bidang penyediaan sarana publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi negara, pemerintah dituntut untuk menyediakan kepentingan publik lainnya, seperti infrastruktur dan sarana perekonomian. Berkaitan dengan masalah pencemaran lingkungan hidup, peran pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah di bidang regulasi lingkungan hidup dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan warga negaranya. Untuk itu, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Upaya pemerintah Provinsi Bali dalam mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih perlu di dukung oleh suatu aturan hukum yang memadai dan diikuti dengan dukungan sumber daya dan anggaran yang memungkinkan dalam tuap tahun perbaikan kualitas lingkungan dapat terukur keberhasilannya.
Peran sektor industri dan jasa yang berkaitan dengan upaya pengendalian lingkungan hidup sangatlah besar melalui mekanisme pelaksanaan konsep green economy yang menekankan proses produksi yang ramah lingkungan. Sektor industri memberikan sumbangan pada perubahan struktur perekonomian Bali yang sebelumnya mengandalkan sektor pertanian. Sampai tahun 1980-an sektor pertanian masih menjadi primadona pembangunan berdasarkan kenyataan bahwa penyumbang terbesar bagi PDRB Bali berasal dari pertanian. Tahun 1983 sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Bali atas dasar harga konstan 1975 adalah 36,30 %, sedangkan sumbangan sektor perdagangan, restoran, dan hotel sebesar 13,90 %, sektor jasa-jasa (11,56 %), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,08%), dan sektor bangunan/konstruksi (6,72 %). Namun, sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri untuk mengubah struktur perekonomian yang berat sebelah pada sektor pertanian, peranan relatif dari sektor pertanian di Bali dari tahun ke tahun telah mengalami penurunan. Pada periode 1969-1981, sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB atas harga konstan 1975 telah mengalami penurunan dari 61,2 % menjadi 36,3%. Sumbangan dari empat sektor terbesar lainnya mengalami kenaikan selama periode tersebut, yakni sektor perdagangan, restoran dan perhotelan, naik dari 9,5 % menjadi 13,9 %, sektor jasa-jasa naik dari 11,7 % menjadi 15,6 %, sektor bangunan/konstruksi naik dari 5,4 % menjadi 6,7 %. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian Bali terus mengalami perubahan. Pada rentang tahun 1993 s.d. 1996 distribusi persentasi PDRB atas dasar harga konstan 1993 menunjukan peran sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebagai penyumbang terbesar, yakni berturut-turut dari tahun 1993 s.d. 1996 sebesar 29,28 %, 29,27 %, 30,27 %, dan 30,82 % sementara sektor pertanian terus mengalami penurunan berturut-turut dari tahun 1993 s.d. 1996 sebesar 22,42 %, 21,26 %, 20,23 %, dan 19,45 %. Pada tahun 2006 pembangunan sektor pariwisata telah menjadi panglima dalam pembangunan perekonomian Bali. Pengembangan sektor pariwisata menyumbangkan PDRB sebanyak 63,0 % sehingga jauh meninggalkan sumbangan sektor pertanian sebesar 21,5 %. Pada sisi ini, apabila Bali ingin selamat dari ancaman permasalahan lingkungan, maka upaya untuk menerapkan strategi green economy perlu terus menerus diupayakan melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang mengedepankan produksi bersih dan ramah lingkungan.
Selain peran pemerintah dan dunia usaha/industri, peran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat strategis dalam menyelamatkan masa depan Bali. Peran masyarakat dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup telah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Peran aktif masyarakat, khususnya dalam upaya mengelola sampah dan limbah yang dihasilkan berhubungan langsung dengan upaya mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan dengan cara meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan serta menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. Selain itu, masyarakat memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan sosial terhadap semua kegiatan yang berpotensi dalam menimbulkan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dengan segera menyampaikan informasi maupun melaporkan kegiatan tersebut. Namun, dalam kenyataannya terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup sebagian besar dilakukan oleh masyarakat yang seolah-olah tidak memikirkan keberlangsungan daya dukung lingkungan, sehingga kondisi tersebut sangat mengingkari hak sebagian masyarakat lainnya terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Partisipasi masyarakat meliputi suatu mekanisme yang melibatkan masyarakat dalam suatu program terpadu dan konsisten. Oleh karena itu, Program Bali Clean and Hreen harus melibatkan peranserta masyarakat mulai dari tahap identifikasi sampai implementasi dan evaluasi. Selanjutnya, masyarakat harus secara terus menerus diberikan informasi, dukungan dan penyertaan peran permodalan yang memadai agar semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kebersihan dan penyelamatan lingkungan dari ancaman kerusakan dan pencemaran semakin baik. Opini publik yang terbentuk dari beragam perspektif masyarakat terhadap suatu permasalahan dapat merupakan akal sehat (common sense) yang beredar di masyarakat dalam bentuk prasangka, kepentingan, dan keperluan ruang publisitas untuk dapat menjadi penentu perubahan. Apabila peran masyarakat ini diabaikan, akan menimbulkan perilaku apatisme dari masyarakat. Dalam beberapa kasus lingkungan hidup,apatisme masyarakat terhadap program pengelolaan lingkungan hidup ditunjukkan dengan berbagai bentuk, mulai dari sikap penolakan terhadap program yang direncanakan pemerintah hingga perilaku yang tidak ramah lingkungan, seperti membuang sampah dan limbah sembarangan ke lingkungan.
Pada umumnya, sikap penolakan masyarakat terhadap program pemerintah bermuara pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap komitmen aparatur pemerintah dalam menjalankan mekanisme kebijakan pemanfaatan sumber daya alam demi kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sikap penolakan masyarakat memiliki peran yang besar terhadap terhambatnya pelaksanaan program pembangunan. Untuk memperbaiki keadaan, perlu dilaksanakan kegiatan sosialisasi, penelitian, dan analisis akademis yang mendalam terhadap potensi keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan lingkungan hidup melalui mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, sehingga keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan lintas sektor dapat mencerminkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya. Dilihat dari peran masyarakat dalam mengawasi aktivitas yang berpotensi dalam mencemari lingkungan sudah dicantumkan dalam beberapa kebijakan di bidang lingkungan hidup, tetapi akibat belum optimalnya peran dan kemampuan masyarakat di bidang teknis pengawasan serta dukungan pengetahuan di bidang penegakan hukum lingkungan yang menyebabkan strategi pengendalian pencemaran lingkungan tersebut hanyalah bersifat formalitas. Terlebih lagi, belum adanya sistem informasi yang mampu memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk melaporkan kejadian pencemaran lingkungan hidup melalui saluran informasi yang ditanggapi secara cepat oleh aparat penegak hukum.
Lemahnya sistem informasi dan penegakan hukum terhadap permasalahan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup merupakan kendala dalam pengendaliannya. Walaupun masyarakat misalnya memiliki komitmen yang besar untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup. Namun karena kondisi wilayah yang tidak memungkinkan serta desakan ekonomi yang mengabaikan kelestarian lingkungan mengakibatkan perhatian terhadap masalah lingkungan seperti program pengelolaan sampah dan limbah, tidak menjadi suatu program prioritas. Seharusnya, pemerintah menindak tegas setiap pelanggaran terhadap peraturan yang tidak memperbolehkan kegiatan pembuangan sampah dan limbah langsung ke lingkungan, tetapi hal itu tidak pernah dilaksanakan dengan serius. Kalau tetap seperti itu, masyarakat menjadi semakin apatis. Selain itu, masyarakat tidak tahu kepada siapa atau lembaga apa yang harus dilapori apabila menemukan kejadian pembuangan sampah yang mencemari lingkungan.
Upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup sudah dilakukan dengan memasukkan aturan-aturan tentang penanganan sampah dan limbah ke dalam awig-awig. Awig-awig pada beberapa desa adat telah menguraikan bahwa apabila ada seseorang yang melakukan perbuatan membuang kotoran, sampah, limbah, dan lain lain yang menyebabkan pencemaran lingkungan, akan dikenakan denda dengan melakukan upacara pecaruan yang bertempat di Pura Banjar. Ketentuan dalam awig-awig tersebut sudah diketahui oleh seluruh warga dan selalu disampaikan pada setiap pertemuan banjar. Hanya, kelemahan yang dirasakan adalah di bidang kegiatan pengawasan terhadap pelanggaran tersebut. Banyak pelanggaran yang terjadi yang tidak dapat diketahui, dilakukan oleh siapa dan tidak tepat waktu pembuangannya sehingga masih banyak sampah dan limbah yang begitu saja dibiarkan berserakan.
4. Strategi Pengendalian Pencemaran Lingkungan
Strategi pengendalian pencemaran lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti pendekatan kebijakan dan kelembagaan, teknologi, dan sosial ekonomi. Melalui penerapan aturan yang berkeadilan pelanggaran lingkungan dapat di kurangi secara bertahap. Hal ini akan dapat terjadi apabila aspek penegakan hukum lingkungan dijalankan secara konsisten. Selain itu, penerapan teknologi secara tepat dapat menurunkan produksi sampah dan limbah dari suatu proses produksi. Implementasi konsep green economy memungkinkan terjadinya keberlanjutan produksi ramah lingkungan karena pencitraan usaha menjadi lebih diterima oleh pasar.
Selain ketiga pendekatan di atas, pemahaman terhadap fenomena pencemaran lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari perilaku masyarakat yang mulai mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, pendekatan budaya yang berbasis pada perubahan perilaku masyarakat terkait pengelolaan sampah dan limbah yang dihasilkannya sangat berperan dalam mengurangi ancaman pencemaran lingkungan. Saat ini makin sedikit orang yang menghormati aliran sungai sebagai sumber kemakmuran, seperti yang tertuang dalam kitab suci. Mereka seenaknya saja membuang sampah ke sungai bahkan di dekat mata air. Dengan memberikan penjelasan tentang nilai-nilai kesucian air melalui kegiatan dharma wacana sebelum persembahyangan di pura dan menyiapkan sarana berupa tempat sampah yang memadai, maka akan terjadi perubahan perilaku masyarakat yang semakin menghargai kebersihan dan kesucian.
Program sosialisasi melalui kegiatan di tempat suci pada umumnya cukup efektif untuk mendidik masyarakat lebih mencintai lingkungan hidup. Hal ini dilihat dari ketertiban masyarakat yang bersembahyang di beberapa tempat suci/ pura yang menyampaikan pesan-pesan terkait pengelolaan sampah dan limbah sebagai bagian dari proses persembahyangan. Perubahan yang mendasar terjadi setelah beberapa kali ada kegiatan dharma wacana yang memasukkan aspek penghormatan terhadap lingkungan dengan melakukan kegiatan nyata, seperti kebersihan, pengolahan sampah, atau melakukan aktivitas penanaman pohon. Peran tokoh agama dan tokoh panutan sangat besar dalam perubahan perilaku masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau kecil dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan memiliki kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan kepercayaan mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan berbudaya.
Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan dalam hidup (Tri Hita Karana) sangat selaras dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Apabila didapatkan kemandirian dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup di Bali diyakini dapat membiayai potensi pencemaran lingkungan hidup yang terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, dapat dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Potensi kerusakan lingkungan di Bali akan sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah mengabaikan pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan ekonomi semata. Pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan lokal dapat meningkatkan apresiasi para pihak yang terlibat dalam program pengendalian pencemaran lingkungan hidup. Oleh karena itu, untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh sampah dan limbah yang semakin banyak diperlukan suatu strategi rekayasa budaya dengan mengimplemetasikan landasan filosofis pembangunan Bali yang berlandaskan Tri Hita Karana secara konsisten dan terarah.
Strategi rekayasa budaya dilakukan dengan meningkatkan kesadaran untuk menyelamatkan masa depan Bali dengan gerakan mengurangi timbunan sampah atau limbah secara konsisten dan berkelanjutan. Strategi tersebut dilakukan dengan mengimplementasikan melalui konsep 3-R, yakni reduce (kurangi), reuse (gunakan kembali), dan recycling (daur ulang), untuk setiap bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi (reduce) pemanfaatan sumber daya dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat diajak untuk dapat memanfaatan kembali (reuse) benda yang telah dikonsumsi, dan kalau memungkinkan melakukan upaya daur ulang (recycling) terhadap barang-barang yang telah dimanfaatkan. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang sederhana, menarik, dan konsisten melalui program sosialisasi, pilot project, gerakan menyeluruh, serta tindakan nyata dengan memperbanyak keterlibatan intelektual dan tokoh masyarakat setempat dalam program pemberdayaan masyarakat. Strategi ini sangat selaras dengan upaya mewujudkan Bali sebagai Provinsi Hijau dan Bersih.
Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan itu dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional, sehingga dapat dipahami secara universal.
Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan dan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia. Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Dengan demikian, kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas, dan kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Hal itu akan menyebabkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk
5. Kesimpulan
Ancaman pencemaran lingkungan hidup bagi masa depan Bali adalah tantangan yang harus dihadapi secara bijak. Pemerintah dan para pihak terkait secara terpadu harus menyelesaikan permasalahan tersebut melalui program perlindungan dan pengelolaan lingkungan Bali. Tantangan yang harus diselesaiakan secara cepat dan terpadu meliputi masalah ketersediaan air, pemanfaatan energi ramah lingkungan, penyediaan transportasi publik yang nyaman dan aman serta manajemen transportasi yang terpadu, serta program pengelolaan sampah dan limbah yang menyeluruh. Disamping itu, upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga menghilangkan penduduk miskin akan sangat berperan dalam mengatasi pemukiman kumuh, sanitasi yang buruk serta kegiatan eksploitasi sumber daya alam.
Potensi Bali untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik sangat besar melalui implementasi nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakatnya sejak lama. Upaya menumbuhkembangkan jadi diri masyarakat Bali yang positif memerlukan dukungan keteladanan dan program aksi yang secara nyata mampu mengurangi timbulan sampah dan limbah, meningkatkan ketersediaan air, penyiapan energi ramah lingkungan, ketersediaan sistem manajemen transportasi yang andal, murah dan nyaman, serta pertumbuhan kesejahteraan masyarakat Bali skala dan niskala.
Daftar Pustaka
Dharma Putra, K.G.. 2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita Karana (THK). dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.
Dharma Putra,K.G..2010, Pencemaran Lingkungan Ancam Pariwisata Bali.Denpasar: Penerbit PT Pustaka Manikgeni.
Greenpeace.2010. Energy Revolution A Sustainable World Energy Outlook.Amsterdam.
Kleden, I. 1997. Mencari Landasan Berpikir Yang mendukung Lingkungan Hidup dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Metzner, R. 2003. Pandangan Dunia Ekologis yang Sedang Muncul. dalam Mary Evelyn Tucker & John A Grim (ed), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Parining, N., Pitana, I.G., Dianta,I.M.P., Anom,I.P., Putra, K.G.D. 2003. Studi Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan. Denpasar: Bappeda Provinsi Bali dan Pusat Penelitian Pariwisata dan Kebudayaan Universitas Udayana.
Soemarwotto, O. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Kepada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suyoto, B. 2008. Fenomena Gerakan Mengolah Sampah. Jakarta: PT Prima Infosarana Media
Dr. Ketut Gede Dharma Putra,M.Sc. adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana, tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Denpasar Bali, e-mail: kgdharmap@mipa.unud.ac.id Tel/Fax.0361 467712, 08123970922.
Senin, 16 Agustus 2010
Langganan:
Postingan (Atom)