Jumat, 16 Oktober 2009

MEMBANGUN KESADARAN MASYARAKAT BALI TERHADAP PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

DI BALI

Oleh : Dr.Ketut Gede Dharma Putra

1. Pendahuluan

Salah satu kebijakan pemerintah di Bali tentang upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup adalah dengan dihasilkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup. Walaupun waktunya relatif sangat terlambat, yakni bila dibandingkan dengan komitmen pemerintah pusat dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup yang dilandasi oleh Undang-undang No 23 Tahun 1997, namun penetapan Perda ini dapat diartikan bahwa memang telah dirasakan adanya degradasi kualitas lingkungan hidup di Bali.

Diraihnya penghargaan bidang lingkungan hidup oleh beberapa kota/kabupaten di Bali sangat ironis bila dibandingkan dengan fakta-fakta yang menunjukan terjadinya peningkatan pencemaran lingkungan hidup di beberapa wilayah Bali. Dengan tidak mengurangi apresiasi atas kerja keras pihak-pihak yang terkait dengan penghargaan lingkungan hidup tersebut, harus disadari secara jujur bahwa kondisi lingkungan di Bali, khususnya di kawasan perkotaan dan pemukiman sangat jelek. Sampah berserakan dimana-mana, got-got masih banyak yang tersumbat dan menimbulkan bau yang tidak sedap, debu beterbangan di areal terbuka dan pasar-pasar tradisional kelihatan kumuh dan jorok. Hal tersebut sangat mudah untuk dilihat, dan sangat bertentangan dengan pemberitaan di media massa tentang kebanggaan dan penyambutan trofi adipura oleh aparat pemerintah.

2. Pencemaran Lingkungan A,B,C

Tidak sukar untuk meyakini kebenaran hipotesis tentang telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup di Bali. Pencemaran lingkungan Abiotik telah dilaporkan secara berkala dalam bentuk status kualitas lingkungan oleh Bapedalda Bali. Sangat jelas adanya trend peningkatan parameter pencemaran lingkungan Abiotik ( fisik dan kimiawi) baik di kawasan perairan yang meliputi sumur, sungai, danau, dan laut maupun pencemaran udara khususnya di kawasan perkotaan. Disamping meningkatnya zat-zat kimia tertentu yang menyebabkan kesuburan tanah di kawasan pertanian dan perkebunan semakin menurun. Studi tentang analisis resiko lingkungan yang dilakukan oleh program kerjasama manajemen lingkungan untuk kawasan laut di Asia Timur (PEMSEA) tahun 2001 sangat jelas melaporkan adanya resiko yang harus diwaspadai akan mempengaruhi kesehatan masyarakat Bali, khususnya wilayah Bali Tenggara akibat tingginya pencemaran lingkungan untuk parameter-parameter kunci tertentu yang berhubungan langsung dengan kesehatan manusia. Pencemaran lingkungan Biotik (B) di Bali dapat dibuktikan dengan semakin menurunnya keragaman jenis beberapa flora dan fauna penting di pulau Bali. Bahkan, satwa yang sebelumnya keberadaanya merupakan kebanggaan Bali seperti Jalak Putih, Penyu Hijau, atau Burung Madu Kuning semakin berkurang populasinya. Para petani di daerah pedesaan semakin sukar untuk dapat menikmati binatang-binatang tertentu yang dulu merupakan makanan favorit yang didapatkan dari daerah persawahan. Pencemaran lingkungan bahkan sudah merambah kawasan bawah laut yang menjadi tempat hidup terumbu karang dengan ikan warna warni yang indah. Peningkatan parameter pencemar seperti partikel padat, senyawa nitrogen, senyawa fosfat, pestisida, dan berkurangnya suplay oksigen telah mengganggu kehidupan di sebagian besar kawasan di Bali.

Walaupun relatif belum tersedia data yang meyakinkan, namun terjadinya pencemaran Lingkungan C ( Kultural/Kebudayaan) di Bali dapat dilihat dengan suatu hipotesis adanya perubahan pada nilai-nilai, norma-norma dan perilaku manusia Bali. Telah terjadi stagnasi pada kemunculan ide, gagasan cemerlang yang dapat memperbaiki kualitas kehidupan bermasyarakat. Wujud kebudayaan sebagai hasil karya masyarakat Bali saat ini, dirasakan belum mampu menyamai hasil karya orang Bali pada puluhan-ratusan tahun kebelakang. Belum ada bangunan pura yang mampu menyerupai keunggulan yang dimiliki Pura Besakih, Pura Batur dan bangunan-bangunan lainnya yang dihasilkan dari gagasan cemerlang dalam tataran konsepsi. Dalam beberapa pemberitaan di media, ditemukan peningkatan kondisi degradasi moral di dalam masyarakat dengan peningkatan kejadian perkelahian pelajar, perselingkuhan, tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas, dan fakta-fakta lainnya yang mengindikasikan telah terjadinya penurunan kualitas lingkungan C. Lemahnya penegakan hukum, rendahnya displin dan etos kerja, peningkatan penindasan kepada yang lemah, arogansi kekuasaan, dan pengambilan keputusan yang tergesa-gesa, semakin menunjukan indikasi adanya trend peningkatan pencemaran lingkungan C setiap tahunnya.

3. Penyebab Masalah

Tidak dapat dipungkiri, aktivitas manusia merupakan penyebab utama kerusakan dan pencemaran lingkungan. Homer–Dixon (dalam Mitchell, 2000) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan dengan tiga cara yakni: Pertama, penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumber daya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah, hutan, air dan sumber daya yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian sumber daya per orang semakin berkurang. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang yang disebabkan oleh pranata hukum serta hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat/lembaga. Terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu kawasan menyebabkan terjadinya akumulasi permasalahan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan kehidupan manusia.

Pertumbuhan penduduk Bali selama sepuluh tahun terakhir ( 1990-2000) sebesar 1.19 % per tahun mengalami peningkatan di bandingkan laju pertumbuhan penduduk sepuluh tahun sebelumnya ( 1980-1990) yakni sebesar 1,08 % ( Bappeda Bali, 2001). Perkiraan pertambahan penduduk pada dekade berikutnya ( 2000-2010) akan memberikan tekanan yang sangat besar pada pencemaran Lingkungan A,B,C di Bali apabila tidak dilakukan suatu strategi yang tepat untuk mengatasinya.

4. Kondisi Kekinian

Hingga kini,sungguh sebuah ironi telah terjadi di pulau Dewata karena belum adanya suatu sistem pengendalian pencemaran lingkungan (A,B,C) yang benar-benar efektif dilakukan di Bali. Pencemaran lingkungan Abiotik tidak mungkin dicegah apabila di Bali belum ada sistem pengolahan limbah yang terpadu. Parameter kunci pencemaran lingkungan A ini seperti Biological Oxygn Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD),senyawa nitrat, senyawa fosfat, pestisida, dan lain lainnya) tidak mungkin dapat dikendalikan apabila tidak ada sistem pengolahan sampah yang terpadu dan holistik menangani peningkatan sampah di Bali. Penanganan sampah yang dilakukan sampai saat ini hanya memindahkan sampah dari satu tempat ( rumah, kantor,hotel, pasar) ke tempat penampungan sampah di suatu tempat. Apabila tidak dilakukan pengolahan, maka sampah tersebut tentu suatu saat akan melebihi kapasitas, dan permasalahan pencemaran pun tidak dapat teratasi.

Pencemaran Lingkungan Biotik selain diakibatkan oleh parameter fisik dan kimia, juga ditunjukan dengan peningkatan bakteri patogen di wilayah perairan ( darat dan laut). Hal ini tidak mungkin dicegah apabila di Bali belum ada sistem pengolahan limbah cair yang terpadu dan holistik yang mampu mengatasi limbah cair baik dari aktivitas domestik dan industri (terutama pariwisata). Limbah cair yang berasal dari aktivitas manusia (makan, mandi,cuci,kakus) hanya berpindah dari sumbernya langsung menuju ke lingkungan. Sehingga daya dukung lingkungan pasti akan terganggu apabila tidak dilakukan pengelolaan yang jitu.

Tidak mungkin dapat dihasilkan gagasan, ide-ide, maupun karya cipta masyarakat Bali yang monumental apabila Lingkungan Culture mengalami pencemaran. Penurunan kenyamanan hidup akibat ketersediaan air bersih yang terbatas, sanitasi lingkungan yang rendah dengan ketakutan pada berjangkitnya berbagai macam penyakit (demam berdarah, polio, cacar, hingga HIV/AIDs), sistem transportasi ( darat, laut dan udara) yang semakin membingungkan dan menakutkan, selain akibat peningkatan biaya operasional, kemacetan, kecelakaan, maupun ketidak pastian pada waktu yang diperlukan. Keterbatasan energi ( bahan bakar minyak, listrik, gas) menyebabkan rendahnya motivasi untuk melakukan inovasi yang memunculkan karya cipta yang adi luhung. Ketidakpastian hukum, penindasan bagi yang lemah, strata kelas sosial, orientasi hidup yang tidak benar menimbulkan keadaan stagnan dalam pemunculan ide-ide orisinal sehingga lebih banyak dilakukan duplikasi dari para pendahulu.

5. Pendekatan Kultural dalam Mengatasi Pencemaran Lingkungan

Sekalipun sangat terlambat, Perda Nomor 4 Tahun 2005 memberikan angin segar akan adanya upaya agar teratasinya masalah pencemaran lingkungan di Bali. Dijelaskan dalam perda tersebut, bahwa faktor utama penyebab pencemaran lingkungan di Bali adalah faktor manusia. Oleh karena itu, pendekatan yang perlu dilakukan, khusus untuk wilayah Bali yang memiliki identitas kultural yang spesifik, adalah pendekatan kultural.

Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah selalu menekankan pada tiga pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan pendekatan ekonomi. Ketiga pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang mendasar, selain belum diimplementasikannya ketiga pendekatan tersebut secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya pencemaran lingkungan di beberapa wilayah di Bali khususnya, terlebih-lebih di beberapa wilayah Indonesia.

Pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan di Bali dilandasi pada keunikan Bali yang merupakan satu ekosistem pulau kecil dengan tingkat keseragaman kultural masyarakatnya yang tinggi. Masyarakat Bali walaupun secara individu, kelompok dan kewilayahan memiliki kekhususan masing-masing, sangat dimungkinkan untuk diberikan kepercayaan mengelola sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan berbudaya.

Paradigma masyarakat Bali yang mengedepankan keharmonisan dalam hidup ( tri hita karana) sangat selaras dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Apabila didapatkan kemandirian dalam mengelola potensi sumber daya yang dimiliki Bali, maka pengelolaan lingkungan hidup di Bali diyakini dapat membiayai potensi pencemaran lingkungan hidup yang terjadi sebagai akibat aktivitas masyarakatnya. Pendekatan kultural yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, dapat dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identias kultural lain seharusnya memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat.

Membangun kesadaran masyarakat Bali terhadap upaya menyelamatkan masa depan Bali dengan mulai mengurangi pencemaran lingkungan hidup di Bali adalah tugas yang harus dilakukan semua penduduk Bali. Salah satu yang dapat dilaksanakan adalah dengan menerapkan konsep 3-R ( Reduce, Reuse, Recycling) dalam semua segi kehidupan masyarakat. Konsep 3-R ini sangat tepat dilaksanakan dalam semua hal mulai dari aktivitas sosial, ekonomi, adat, maupun ritual.

Pendekatan kultural untuk membangun kesadaran masyarakat Bali dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Bali sangat efektif dengan mulai menawarkannya dalam kegiatan sosial keagamaan. Masyarakat perlu digalang untuk mengurangi ( Reduce) pemanfaatan sumber daya dalam aktivitas ritual. Lebih banyak meningkatkan pemahaman terhadap esensi sradha agama, dalam pencapaian kesempurnaan rohani. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan, perlu diupayakan untuk pemanfaatan kembali (Reuse) sarana upakara yang masih mungkin digunakan kembali. Dan kalau memungkinkan, upaya daur ulang sarana upakara tersebut merupakan langkah yang sangat tepat dalam rangka pelestarian sumber daya alam.

Potensi kerusakan lingkungan di Bali akan sangat mungkin semakin parah, apabila pemerintah mengabaikan pendekatan kultural dalam mengatasi pencemaran lingkungan, dengan semata-mata menekankan hanya pada pendekatan teknologi, institusi dan ekonomi semata.***

Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup FMIPA Universitas Udayana

Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali. Tel. 0361-7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712

STRATEGI PENGELOLAAN DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR DAN LAUT DEMI PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN YANG BERKELANJUTAN

Oleh : Dr.Ketut Gede Dharma Putra

Staf pengajar AMDAL di Universitas Udayana Bali,

Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) - Bapedalda Provinsi Bali.

1. Pendahuluan

Wilayah pesisir mempunyai peranan penting bagi pembangunan dan aktivitas social budaya masyarakat Bali. Kawasan yang berkembang sebagai daerah pemukiman dan kawasan pariwisata sebagian besar terletak di kawasan pesisir Bali. Hal ini memberikan dampak pada peningkatan tekanan terhadap daya dukung wilayah pesisir yang mengakibatkan peningkatan potensi kerusakan lingkungan.

Masalah pencemaran lingkungan pesisir dan laut telah banyak terjadi dimana-mana, terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang banyak melakukan aktivitas pembangunan. Ketchum dan Warren dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa pencemaran disebabkan karena masuknya zat-zat asing ke dalam lingkungan, sebagai akibat tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungan. Pencemaran laut dan pesisir pada umumnya terjadi karena adanya pemusatan penduduk, pariwisata, dan industrialisasi di daerah pesisir. Aktivitas tersebut baik langsung maupun tidak langsung (melalui limbah buangnya) dapat mengganggu kehidupan perairan laut daerah pesisir.

Aktivitas manusia merupakan penyebab utama kerusakan lingkungan. Homer –Dixon dan kawan-kawan dalam Mitchell ( 2000) menyatakan bahwa kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan lingkungan dengan tiga cara yakni: Pertama, penurunan jumlah dan kualitas sumber daya, terutama jika sumberdaya dieksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya. Kedua, penurunan atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk. Dengan bertambahnya penduduk, tanah dan air yang jumlahnya tetap sama sudah barang tentu dimanfaatkan oleh lebih banyak orang. Hal ini berarti jumlah pemakaian tanah dan air per orang semakin berkurang. Ketiga, akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang yang disebabkan oleh pranata hukum serta hak kepemilikan yang terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat/lembaga. Terpusatnya kegiatan-kegiatan ekonomi di suatu kawasan menyebabkan terjadinya akumulasi permasalahan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan terhadap kenyamanan kehidupan manusia.

2. Kerusakan Lingkungan di Wilayah Pesisir dan Laut Bali

Pulau Bali dengan luas wilayah sebesar 5.632,86 km2 memiliki garis pantai sepanjang 430 km saat ini sedang mengalami peningkatan pencemaran di wilayah pesisir dan lautnya sebagai konsekuensi perkembangan penduduk dan aktivitas pembangunan di pulau yang dikenal sebagai daerah tujuan pariwisata dunia ini. Pertumbuhan penduduk Bali selama sepuluh tahun terakhir ( 1990-2000) sebesar 1.19 % per tahun mengalami peningkatan di bandingkan laju pertumbuhan penduduk sepuluh tahun sebelumnya ( 1980-1990) yakni sebesar 1,08 % ( Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bali, 2001). Prediksi pertambahan penduduk Bali pada sepuluh tahun kedepan ( 2000-2010) diperkirakan berkisar 1,09 % sehingga akan terjadi tekanan terhadap daya dukung lingkungan yang semakin berat untuk dikelola dengan benar.

Proyeksi peningkatan pertumbuhan penduduk yang semakin besar setiap tahunnya berpotensi besar meningkatkan pencemaran lingkungan. Terlebih lagi, sampai tahun 2007 belum ada suatu sistem pengolahan limbah cair terpadu yang beroperasi di Pulau Bali secara terpadu karena kegiatan pembangunan Denpasar Sewerage Development Project (DSDP) yang akan melayani pengolahan limbah untuk sebagian wilayah Denpasar, Sanur dan Kuta baru akan beroperasi optimal pada tahun 2008. Dapat diduga, semua limbah cair yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, langsung masuk kedalam lingkungan yang pada akhirnya akan menuju ke wilayah pesisir dan laut.

Permasalahan lingkungan yang utama di wilayah pesisir dan laut di Propinsi Bali khususnya di wilayah pesisir Tenggara Pulau Bali terjadi sebagai akibat lebih terkonsentrasinya kegiatan pembangunan dan pemanfaatan langsung ruang dan sumberdaya serta jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut di bagian Selatan pulau Bali. Pembangunan fasilitas kepariwisataan seperti hotel, villa, resort, restaurant dan fasilitas penunjang lainnya seperti rumah sakit, jalan, pelabuhan laut dan udara, serta kegiatan ekonomi lainnya telah menyumbangkan tingkat pencemaran di wilayah ini ( GEF/UNDP/IMO Regional Programme, 2004). Sebagai akibat kondisi tofografi wilayahnya yang berada di kawasan paling rendah dan menjadi muara beberapa sungai yang melintasi daerah pemukiman padat, kawasan bagian Tenggara Pulau Bali merupakan kawasan pembuangan limbah seluruh aktivitas manusia yang bermukim di wilayah padat Pulau Bali seperti Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. Walaupun kerusakan yang parah juga terjadi di kawasan lainnya seperti pantai utara Bali, Jembrana dan Karangasem.

Kawasan yang paling berpotensi untuk menerima limbah sebagai akibat aktivitas manusia dan aliran drainase dan sungai adalah kawasan Teluk Benoa Bali. Kawasan ini merupakan sebuah teluk yang disekitarnya terdapat kegiatan-kegiatan dengan potensi limbah yang besar seperti kegiatan pelabuhan laut PT(Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Benoa, kegiatan pelabuhan udara internasional PT(Persero) Angkasa Pura I Ngurah Rai, Tempat pembuangan Akhir Sampah (TPA) di Suwung, Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) di Pesanggaran, Aktivitas Depo Pertamina di Benoa, Pembangkit Listrik PT Indonesia Power di Pesanggaran, penyediaan sumber air baku air minum PT Tirta Artha Buanamulia di Estuary Dam Nusa Dua, Aktivitas perikanan tambak di Pesanggaran dan Suwung, Aktivitas wisata Tirta di Tanjung Benoa, Reklamasi pulau Serangan oleh Bali Turtle Island Development Project ( PT. BTID), muara sungai besar seperti Tukad Ayung dan Tukad Badung, serta aktivitas manusia lainnya yang bermukim di daerah padat yang termasuk wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Perpaduan dari semua aktivitas yang terdapat disekitar kawasan Teluk Benoa Bali ini berpotensi besar meningkatkan pencemaran di kawasan tersebut setiap tahunnya.

3.Dampak Kerusakan Lingkungan Pesisir dan laut terhadap Pembangunan Bali

Perekonomian wilayah pesisir dan laut daerah Bali menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang berperanan penting dalam menunjang pembangunan. Industri pariwisata yang menopang sektor perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan andalan pembangunan daerah Bali dengan kontribusi lebih dari 31% PDRB Bali, tidak terlepas dari peranan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Demikian juga halnya dengan pembangunan perikanan yang memanfaatan sumberdaya kelautan menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat pesisir. Di bidang transportasi, perhubungan laut memainkan peranan penting dalam sistem angkutan barang dan penumpang yang menghubungkan Pulau Bali dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia dan dengan negara-negara di dunia. Dari aspek sosial budaya dan keagamaan, pantai-pantai di Bali bagi umat Hindu merupakan kawasan suci dan berfungsi sebagai tempat melangsungkan berbagai upacara keagamaan. Sementara itu dari aspek ekologi, wilayah pesisir daerah Bali mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi baik pada tingkat jenis maupun ekosistem, yang bermanfaat dalam pelestarian plasma nutfah maupun proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan.

Sebagai wilayah peralihan antara daratan dan lautan, wilayah pesisir bersifat kompleks dan rapuh, disamping itu statusnya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor daratan, pesisir dan lautan. Meningkatnya jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan telah menyebabkan wilayah pesisir Bali berkembang pesat dengan disertai berbagai permasalahan lingkungan dan konflik dalam pemanfaatannya. Permasalahan lingkungan dan konflik pemanfaatan tersebut cenderung mengarah kepada menurunnya kualitas lingkungan yang berkonsekuensi kepada menurunnya fungsi dan manfaat wilayah pesisir dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan di Bali.

Dampak yang luas yang diakibatkan kerusakan wilayah pesisir dan laut Bali paling dirasakan oleh sector pariwisata. Hal inidiakibatkan sebagian besar Pembangunan fasilitas akomodasi dan sarana penunjang lainnya di bidang kepariwisataan terletak di kawasan pesisir dan laut Bali.

4.Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Bali

Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir, potensi sumberdaya alam dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, maka dalam upaya mencapai pembangunan wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan, dituntut pendekatan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Hal ini sangat beralasan jika dikaji secara emperis, dimana terdapat keterkaitan ekologis atau hubungan fungsional antar ekosistem di dalam wilayah pesisir maupun antara wilayah pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Karakteristik dan dinamika wilayah pesisir dan yang demikian kompleksnya juga menuntut sistem pengelolaan yang terpadu dari berbagai aspek ekonomi, ekologi, teknis dan sosial budaya serta melalui pendekatan interdisiplin. Dari aspek institusional, konsep keterpaduan diarahkan kepada terciptanya mekanisme koordinasi yang baik dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, mengingat banyaknya kewenangan sektoral yang terlibat dalam pengelolaannya

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu berkaitan dengan prinsip-prinsip perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara modern, yang berdasarkan atas ketersediaan data dan informasi yang lengkap dan dilakukan melalui proses interdisiplin. Oleh karena itu, salah satu tahapan awal dalam siklus program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah penyiapan profil lingkungan yang menyajikan data dan informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi, budaya, biogeofisik-kimia, ekologi dan kelembagaan wilayah pesisir di Bali, yang disusun oleh suatu tim multidisiplin.

Program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu di Bali mempunyai tujuan dan sasarannya untuk mewujudkan perbaikan kondisi lingkungan dan menekan konflik dalam pemanfaatan sehingga tercapai pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan. Pendekatan ini dilakukan melalui perbaikan-perbaikan sistem manajemen yang bertitik tumpu kepada kapasitas atau kemampuan daerah. Strategi yang dapat dilakukan agar kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut Bali dapat dikelola dengan baik sehingga Pembangunan ekonomi khususnya pariwisata dapat berkelanjutan perlu memperhatikan hal sebagai berikut:

1. Ketersediaan data dan informasi yang memadai merupakan perangkat penting yang dibutuhkan dalam perumusan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. Oleh karena itu suatu sistem data/informasi yang dikelola secara baik dan terapdu perlu ditingkatkan kapasitasnya. Survey, penelitian-penelitian dan monitoring di bidang pesisir dan kelautan perlu ditingkatkan serta sistem dan program pemantauan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh lembaga terkait perlu ditingkatkan.

2. Pemerintah propinsi dan kabupaten/kota secara mendesak perlu menetapkan status kondisi lingkungan di wilayah laut kewenangan masing-masing, seperti status kondisi terumbu karang, hutan mangrove dan status pencemaran.

3. Munculnya permasalahan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut di Bali, sehingga terjadi konflik pemanfaatan umumnya disebabkan oleh penataan ruang yang ada kurang akomodatif terhadap pola-pola pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang multiguna. Oleh karena itu penataan ruang pesisir dan laut dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi dan sosial budaya yang spesifik di wilayah tersebut segera ditetapkan dengan perundangan yang memadai.

4. Partisipasi para stakeholders merupakan kunci bagi manajemen pesisir dan laut. Oleh karena itu perlu dibangun sistem manajemen melalui pendekatan partisipatoris, untuk menjamin bahwa prinsip, proses dan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut sepenuhnya dapat dimengerti tidak hanya oleh yang menggagas dan yang menerapkannya, tetapi juga bagi stakeholders yang terlibat. Program-program peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) dan peningkatan kemampuan (capacity building) para stakeholders menjadi sangat penting untuk dapat berpartisipasi secara optimal.

5. Formulasi di bidang peraturan perundang-undangan mutlak dilakukan agar secara optimal dapat menunjang implementasi program-program pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dalam tatanan otonomi daerah. Pengaturan hukum pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu perlu ditunjang oleh peningkatan kinerja penegakan hukum.

6. Perlu dikembangkan suatu kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu guna mengkoordinasikan berbagai kegiatan sektoral, mengkoordinasikan kegiatan penelitian dan program-program pemantauan (monitoring) lingkungan termasuk pengelolaan data dan informasi mengenai wilayah pesisir dan laut.

Mengingat begitu banyaknya permasalahan di wilayah pesisir dan laut Pulau Bali, maka dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut perlu segera diimplementasikan perencanaan strategis pengelolaan wilayah pesisir dan laut Bali dalam bentuk rencana aksi yang berkelanjutan secara terpadu.

5. Penutup

Sebagai penyumbang yang besar terhadap pertumbuhan pembangunan perekonomian di Bali, sector perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan andalan di kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan program dan langkah nyata guna mengantisipasi dampak kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut Bali.

Pendekatan yang perlu dipertimbangkan selain pendekatan teknologi, ekonomi, dan kelembagaan yang telah digariskan dalam kebijakan pengelolaan lingkungan di Indonesia sesuai Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah dengan mengimplementasikan pendekatan cultural yang mengedepankan kearifan local ( local genius) sesuai dengan implementasi konsep pembangunan berkelanjutan. Wilayah Bali yang mengalami tekanan kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut dapat melaksanakan implementasi pendekatan cultural tersebut dengan mulai secara konsisten melaksanakan implementasi nilai-nilai kearifan local yang mengedepankan keselarasan antara sesama manusia dengan Tuhan (Parhyangan) dan segenap kekuatannya, dengan sesama manusia ( Pawongan ) , dan dengan alam lingkungan ( Palemahan).

Daftar Pustaka

Supriharyono, 2000, Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Jakarta: Penerbit Gramedia.

Mitchell,et al, 2000, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jogyakarta: Gajahmada Univerity Press

Gambar.1 Peta Kerusakan Wilayah Pesisir dan Laut Bali ( Sumber: ICM Bali,2005).

Kamis, 15 Oktober 2009

STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

(INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT/ICM)

DALAM PENGELOLAAN PANTAI DI BALI

Oleh : Dr. K.G.Dharma Putra,M.Sc

Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) – Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.

1. Pendahuluan

Dalam upaya mengatasi permasalahan lingkungan guna tercapainya sasaran pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir yang optimal dan berkelanjutan, sejak tahun 2000 Pemerintah Propinsi Bali bekerja sama dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) dalam Program Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses dinamis di dalam mana suatu strategi terkoordinasi dikembangkan dan diimplementasikan dalam rangka alokasi lingkungan, sosial budaya dan sumberdaya kelembagaan untuk mencapai sasaran konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir multi-guna yang berkelanjutan. Proyek Demonstrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu di Bali dimaksudkan untuk membantu dan membangun kapasitas daerah, baik pemerintah maupun pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), dalam melindungi dan mengelola lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir Bali.

Bersamaan dengan dipilihnya Bali sebagai lokasi demonstrasi pelaksanaan ICM di Indonesia, kegiatan pengamanan Pantai Bali yang dikenal dengan Bali Beach Conservation Project (BBCP) sedang dalam proses pelaksanaannya. Proyek yang terdiri atas Pekerjaan Perlindungan Pura Tanah Lot dan tiga pekerjaan konservasi pantai di Sanur, Nusa Dua dan Kuta sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Bali. Dalam rentang waktu yang cukup panjang, sejak tahun 2000 hingga tahun 2008, pelaksanaan kegiatan pengamanan pantai Bali telah memberikan pengalaman yang berharga dalam melaksanakan suatu program pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir dan laut secara terpadu. Secara konsisten kegiatan BBCP telah mengimplementasikan pendekatan ICM dalam mendekatkan jarak antara program pemerintah dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

2. Siklus Pengembangan ICM

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ ICM) adalah pendekatan pengelolaan wilayah yang memiliki mekanisme keterpaduan program diawali dengan melakukan: (1)persiapan, (2)inisiasi, (3)pengembangan, (4)adopsi, (5)implementasi, dan(6) penyempurnaan dan konsolidasi, untuk selanjutnya dilanjutkan dengan siklus yang baru seperti terlihat dalam Gambar 1.

Provinsi Bali yang telah ditunjuk oleh GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) memulai siklus ICM pada tahun 2000 dengan ditetapkannya sebuah tim lintas sektor dibantu oleh ahli dari perguruan tinggi untuk melakukan persiapan awal berupa identifikasi profil wilayah pesisir Bali Tenggara. Dalam mempersiapkan siklus ICM di Provinsi Bali, Bapedalda Bali( sekarang Badan Lingkungan Hidup ) sebagai lembaga yang dijadikan PMO (Project Management Office) sudah menyusun beberapa kegiatan yang mengikuti siklus ICM diantaranya pembentukan tim teknis ICM melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 342 tahun 2000 yang bertugas melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir di Bali sesuai dengan mekanisme ICM.

Beberapa kegiatan yang sudah dihasilkan adalah penyusunan dokumen Profil Wilayah Pesisir Bali Tenggara yang berisi potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut di wilayah Bali bagian Tenggara, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Bali Tenggara, Analisis Resiko Lingkungan Hidup, Zonasi Kawasan Teluk Benoa, serta beberapa kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan beberapa hasill dari kegiatan ICM tersebut, diharapkan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Bali dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan.




Gambar 6.3

Siklus Pengembangan dan Implementasi ICM

( Sumber: Bapedalda Bali,2004)

Gambar 1. Siklus ICM

Dalam melaksanakan pendekatan ICM di Bali telah dapat diidentifikasi adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Dampak yang terjadi dari konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut telah menimbulkan keresahan masyarakat akibat terdesaknya akses masyarakat yang secara historis telah secara turun temurun menggantungkan penghidupannya di pantai serta tertutupnya akses ke pantai/laut yang dapat menghambat kelancaran masyarakat dalam melangsungkan upacara keagamaan di pantai. Dampak ini umumnya muncul karena konflik pemanfaatan ruang pantai antara beberapa aktivitas dengan kegiatan masyarakat lokal di daerah pesisir.

Kaitan antara beberapa aktivitas di wilayah pesisir dan laut yang bercampur aduk menjadi satu jaring-jaring konflik yang memberikan dampak berkelanjutan. Dari beberapa kegiatan yang ada di kawasan pesisir dan laut dapat dibuatkan suatu bagan gambaran dari hubungan antar kegiatan yang menimbulkan konflik pemanfaatan kawasan tersebut, seperti terlihat dalam Gambar 2.

Gambar 2

Konflik Kepentingan di Kawasan Pesisir dan Laut

3. Permasalahan Utama di Wilayah Pesisir dan Laut Bali

Pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut yang sangat beragam telah menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang secara umum dapat dibagi atas dua kategori yaitu (a) permasalahan yang berasal dari dalam wilayah pesisir dan laut itu sendiri sebagai akibat dari pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, dan (b) permasalahan yang timbul akibat kegiatan di luar wilayah pesisir dan laut yang langsung atau tidak langsung berdampak terhadap proses dan sistem wilayah pesisir.

Beberapa permasalahan lingkungan yang utama di wilayah pesisir dan laut di Propinsi Bali, sebagai akibat kegiatan pembangunan dan pemanfaatan langsung ruang dan sumberdaya serta jasa-jasa lingkungan pesisir/laut antara lain :

3.1 Penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya alam, akibat pemanfaatan yang destruktif dan eksploitasi berlebih.

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di daerah Bali telah mencapai 430 % dari potensi lestarinya sedangkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan Propinsi Bali mencapai 100,37% dari potensi lestari dan khusus di wilayah perairan tenggara Pulau Bali tingkat pemanfaatannya sudah mencapai 124,52% dari potensi lestari. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya ikan karang dan ikan pelagis. Kalau hal ini berlangsung terus maka akan terjadi penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan.

Penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan di wilayah pesisir Pulau Bali juga disebabkan oleh praktek-praktek penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal, seperti pengeboman ikan yang masih belum teratasi serta penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan beracun (potassium sianida).

3.2 Penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran dari berbagai jenis kegiatan di daratan dan di laut.

Pariwisata merupakan sektor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah Bali. Dalam hal ini wilayah pesisir dan laut menjadi andalan dalam pembangunan pariwisata di Bali, baik sebagai penyedia sarana maupun sebagai obyek wisata. Mengingat pariwisata mempunyai muatan lingkungan yang tinggi, artinya dibutuhkan kualitas lingkungan yang prima, maka masalah-masalah penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran sangat mengancam keberlanjutan fungsi dan manfaat wilayah pesisir dalam menunjang pembangunan pariwisata. Begitu juga halnya dengan pembangunan sektor perikanan, dimana kualitas lingkungan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutannya.

Perairan pesisir Pulau Bali dewasa ini telah menunjukkan indikasi adanya pencemaran bahan organik dan eutrofikasi. Demikian juga halnya dengan kontaminasi bakteri E. coliform sudah cukup tinggi di beberapa kawasan pantai terutama yang dekat dengan muara sungai.

3.3 Kerusakan habitat dan ekosistem wilayah pesisir.

Ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun di wilayah pesisir Pulau Bali mendapatkan tekanan-tekanan akibat pembangunan dan aktivitas manusia lainnya. Terumbu karang yang menjadi aset penting pengembangan pariwisata bahari di Bali cenderung mengalami peningkatan kerusakan akibat aktivitas pariwisata bahari yang tidak terkontrol dengan baik dan praktek-praktek penangkapan ikan ilegal. Hutan mangrove di Teluk Benoa yang merupakan paru-paru kota, semakin terdesak oleh tuntutan lahan untuk berbagai penggunaan lain, seperti pengembangan bandara, pengembangan pusat-pusat bisnis, pemukiman dan lain-lain. Padang lamun yang juga merupakan habitat kritis di wilayah pesisir, yang mempunyai nilai ekologis yang sangat strategis telah banyak mengalami alterasi dan pengikisan akibat reklamasi dan pengembangan budidaya rumput laut. Kerusakan habitat-habitat tersebut mempunyai implikasi terhadap penurunan nilai produksi dan nilai rekreasi/pariwisata dan nilai konservasi ekosistem-ekosistem tersebut.

3.4 Kerusakan fisik pantai akibat erosi.

Erosi pantai merupakan masalah yang paling menonjol terjadi di wilayah pesisir Bali secara keseluruhan. Erosi pantai terjadi hampir di seluruh kawasan pantai di Bali dengan laju yang berbeda-beda dan pantai-pantai menjadi kawasan pariwisata telah mengalami erosi yang paling parah, seperti pantai Sanur, Candidasa, Nusa Dua dan Kuta. Pantai-pantai wisata yang mengalami erosi tersebut selain menurunkan nilai estetika dan nilai amenitas kawasan tetapi juga mengancam beberapa fasilitas pariwisata yang ada.

Secara umum, erosi pantai di Bali telah mengancam berbagai infrastruktur, bangunan dan lahan pertanian. Disamping karena faktor alam, erosi pantai di Bali cenderung diperparah oleh ulah manusia yang melakukan intervensi berlebihan di wilayah pantai, sehingga menganggu keseimbangan proses-proses dinamis pantai. Beberapa bentuk intervensi manusia yang memperparah terjadinya erosi antara lain pelanggaran sempadan pantai, pengambilan material pantai, pembuatan bangunan pengaman pantai yang bersifat spasial, dan lain-lain.

3.5 Konflik kepentingan antar berbagai sektor kegiatan pembangunan dan pemanfaatan.

Meningkatnya kegiatan berbagai sektor pemerintah dan swasta, mendorong adanya kompetisi diantara para pelaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Kompetisi ini menyebabkan adanya tumpang tindihnya perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta. Pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya wilayah pesisir dan laut menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih satu dengan yang lain.

Sementara itu, sifat sumberdaya pesisir dan lautan yang multiguna serta melibatkan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan, maka konflik dalam pemanfaatan tidak terhindarkan. Konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir seringkali membawa dampak terhadap keresahan masyarakat akibat adanya ketidakadilan yang dirasakan. Konflik pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Bali, umumnya terjadi akibat tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk pemanfaatan. Hal ini terjadi karena belum adanya zonasi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut untuk Provinsi Bali.

Mengingat dominannya sektor pariwisata yang memanfaatkan wilayah pesisir Pulau Bali, maka seringkali pariwisata menjadi sumber dan titik sentral dari konflik tersebut. Selain itu, konflik kepentingan juga terjadi antara konservasi dengan pemanfaatan non konservasi, dimana hal ini seringkali membawa dampak yang buruk terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan.

5. Kendala dalam Pengelolaan Pantai di Bali

Berdasarkan pengamatan terhadap adanya konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan laut, terdapat beberapa isu utama yang menjadi kendala dalam pengelolaan pantai di Bali. Kendala tersebut diantaranya :

5.1 Lemahnya Kelembagaan dan Koordinasi

Belum adanya lembaga yang secara khusus bertanggung jawab dan berwenang menangani wilayah pesisir dan laut, sehingga saat ini semua pihak yang berkepentingan jalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sektor masing-masing. Hal seperti ini akan sangat potensial untuk terjadinya konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan di wilayah pesisir dan laut.

Saat ini terdapat beberapa lembaga departemen dan non-departemen yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Lembaga-lembaga tersebut dalam melakukan aktivitasnya di wilayah tersebut hanya sebatas kewenangannya masing-masing yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan sektoral masing-masing lembaga tersebut, tanpa adanya koordinasi yang baik. Belum lagi kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota serta antara pemerintah kabupaten/kota yang satu dengan lainnya.

Padahal dalam hal pengelolaan wilayah pesisir yang multiguna sangat diperlukan suatu lembaga yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam hal (i) mengakomodasikan mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di kawasan pantai dan laut; (ii) mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan data dan informasi serta mekanisme diseminasinya; dan (iii)mengembangkan peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara efektif.

5.2 Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakannya

Disamping lemahnya kelembagaan, juga perangkat hukum yang mengatur tentang batas-batas kewenangan antara satu instansi dengan instansi yang lain belum jelas sehingga hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam bertindak, juga peraturan tentang batas-batas wilayah kewenangan di laut satu daerah dengan daerah lain belum diatur.

Sampai saat ini dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir dan laut belum di atur secara khusus yang memasukkan pertimbangan-pertimbangan non-yuridis seperti pertimbangan sifat ekologisnya yang khas, ekonomi, sosial-budaya, tradisi, serta pertahanan keamanan. Masing-masing sektor yang terlibat di dalam wilayah pesisir dan laut mempunyai aturan-aturan tersendiri (sektoral) yang kadangkala saling tumpang tindih dalam hal kewenangan.

Peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dan belum operasional merupakan salah satu penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan dari rencana yang ada, karena masing-masing stakeholder baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat berusaha memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir seoptimal mungkin sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Sementara itu, penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran aktivitas di wilayah pesisir dan laut masih belum berjalan efektif, yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan di laut, keterbatasan kapasitas aparat yang berwenang serta sarana dan prasarana yang tidak mendukung.

5.3 Rendahnya Kesadaran Masyarakat

Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi wilayah pesisir dan laut bagi pembangunan masih rendah, begitu juga halnya dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut.

5.4 Kurangnya Perangkat Sistem Informasi

Ketersediaan data dan informasi tentang wilayah pesisir dan laut saat ini masih jauh dari memadai, baik mengenai potensi sumberdaya alam maupun kondisi lingkungannya mengingat belum banyaknya perhatian tentang sumberdaya alam ini. Disamping juga terbatasnya penguasaan teknologi kelautan akibat sumberdaya manusia di sektor ini sangat terbatas jumlah dan kualitasnya serta dukungan prasarana dan sarana penelitian masih sangat kurang.

Kurangnya data dan informasi mengenai wilayah pesisir terlebih-lebih data dan informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan juga mengakibatkan wilayah ini berkembang secara tak terkendali.

Di sisi lain, wilayah pesisir dan laut seringkali digambarkan sebagai korban-korban kurangnya pertukaran informasi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya memadukan data dan informasi yang ada untuk bahan pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Masalah yang berkaitan dengan sistem informasi dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain (i) bagaimana mencari suatu cara untuk menelusuri dan menghubungkan data/informasi tersebut menjadi suatu data bersama dalam suatu bentuk yang dapat diakses dan digunakan (ii) bagaimana cara mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan informasi yang ada kemudian membuatnya menjadi suatu yang relevan untuk diterapkan (iii) kelemahan pada seri waktu pengambilan data.

6. Peluang bagi Perbaikan Manajemen Pengelolaan Pantai di Bali

Sumberdaya pesisir dan laut di masa yang akan datang memegang peranan penting dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Semakin bertambahnya jumlah penduduk sementara ketersediaan sumberdaya alam di darat telah semakin menipis, maka pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan laut sebagai andalan baru pembangunan nasional dan daerah menjadi semakin nyata. Adanya pergeseran konsentrasi ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi poros Asia-Pasifik yang diikuti oleh perdagangan bebas dunia tahun 2020, akan menjadikan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Indonesia sebagai aset pembangunan dengan keunggulan komparatif yang harus dikelola secara optimal.

Pesisir dan laut bagi daerah Bali dan masyarakatnya mempunyai arti yang sangat penting baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial budaya maupun adat istiadat dan keagamaan. Melihat karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir dan laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah yang dijalankan agar manfaat wilayah pesisir dan laut tersebut dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan maka perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja manajemen wilayah pesisir dan laut, dimana salah satunya melalui pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Seiring dengan penerapan otonomi daerah, maka ke depan ini pengelolaan wilayah pesisir dan laut menghadapi paradigma baru yaitu desentralistik dan terpadu, menimnggalkan sistem yang lama yang sentralistik dan sektoral. Perbaikan sistem manajemen tersebut perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat penunjangnya, baik aspek kelembagaan, administrasi maupun peraturan perundang-undangan yang memadai serta didukung oleh seluruh stakeholders untuk meraih berbagai peluang-peluang keuntungan sosial ekonomi jangka panjang dan berkelanjutan antara lain :

Pembangunan bidang ekonomi di Propinsi Bali bertumpu pada sektor pariwisata yang dalam pengembangannya banyak memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Terlebih-lebih dalam pengembangan pariwisata alam (ecotourism) di masa yang akan datang di Bali, banyak bertumpu kepada jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti wisata bahari.

Wisata bahari merupakan alternatif pembangunan pariwisata pesisir yang berkelanjutan, yang melibatkan perpaduan budaya dan lingkungan alam sekitarnya sehingga memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat untuk menyatu dalam kegiatan tersebut. Permintaan yang cukup tinggi oleh wisatawan manca negara akan alam yang “terpencil”, “asli”, dan “eksotik”, menjadikan daerah-daerah pada negara kepulauan seperti Indonesia menjadi incaran para wisatawan.

Dengan adanya upaya perbaikan manajemen wilayah pesisir dan laut, maka kondisi lingkungan pesisir diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian pariwisata di Bali dapat berkembang dengan lebih baik sehingga perolehan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih ditingkatkan.

Peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan laut yang diharapkan dari adanya perbaikan manajemen juga akan memberi peluang terhadap pengembangan perikanan tangkap serta budidaya laut yang mempunyai prospek ekonomi yang baik dan berorientasi ekspor, serta peluang untuk mengembangkan potensi keanekeragaman hayati laut untuk menunjang industri farmasi, obat-obatan dan kosmetik. Dengan demikian masyarakat pesisir mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Dengan meningkatnya kualitas lingkungan serta adanya perbaikan aspek administrasi/ legislasi, maka dalam jangka panjang wilayah pesisir dan laut akan berpeluang menarik lebih banyak lagi investasi-investasi baru, sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesempatan usaha serta kesempatan kerja akan meningkat.

Umat Hindu di Bali diharapkan akan memperoleh peluang untuk dapat melakukan berbagai kegiatan adat dan keagamaan di pantai dengan lebih baik dan berkesinambungan, dengan adanya penataan pemanfaatan pantai dan perbaikan fisik pantai yang diharapkan dari adanya upaya perbaikan manajemen.

7.Strategi Rekayasa Budaya dalam Pengelolaan Pantai

Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah selalu menekankan pada tiga pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan pendekatan ekonomi dalam program pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang mendasar, salah satunya adalah belum diintegrasikannya sistem manajemen lingkungan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sehingga masyarakat setempat senantiasa pada kondisi yang terhegemoni oleh kekuasaan yang direpresentasikan oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, strategi rekayasa budaya seyogyanya dilakukan dalam perencanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan memberikan peluang perbaikan melalui pendekatan budaya .

Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal perlu dijadikan acuan dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan ini dilakukan dengan memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional sehingga dapat dipahami secara universal.

Pendekatan budaya menekankan pada aspek keseimbangan dalam memahami posisi identitas etnis dari kelompok yang bermukim di suatu kawasan. Walaupun persamaan moral yang mendasari setiap tindakan manusia diyakini memiliki kesamaan, namun perilaku terhadap alam sangat tergantung pada orientasi hidup seseorang. Dalam hal semakin bertambahnya beban limbah dan sampah yang masuk ke lingkungan di Bali sebagai akibat pertumbuhan populasi penduduk, kesepakatan tentang ketetapan standar hidup seperti penghormatan terhadap nilai keselarasan dalam Tri Hita Karana harus dipahami sebagai suatu produk budaya setempat.

Implementasi pendekatan budaya dalam pengelolaan pantai dan kegiatan konservasi ( transplantasi karang ) di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan, dan keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia.

Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi, dituangkan secara lebih rasional menjadi logos. Sehingga kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama. Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas dan kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan lokal perlu dimaknai secara universal. Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk.

8. Penutup

Penerapan manajemen pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu telah dilaksanakan secara konsisten dalam program pembangunan di wilayah pantai Bali. Walaupun dalam implementasinya ditemukan beberapa kendala, namun dengan memberikan penekanan pada pendekatan budaya, selain pendekatan teknologi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan kelembagaan, maka tujuan perlindungan sumber daya pesisir dan laut dapat dilakukan dengan baik.

Diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah yang memberikan peluang lebih banyak kepada masyarakat setempat untuk mengelola potensi sumber daya yang dimiliki dengan mengacu pada pendekatan keterpaduan program pengelolaan pantai. Dengan memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada masyarakat setempat, maka pengelolaan pantai akan lebih sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri.

Referensi

Baker, I. And P. Kaeoniam (eds.), 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Environmental and Resources Research Division, Thailand Institute of Scientific and Technological Research. Bangkok.

Burbridge, P.R., 1986. Problems and issues of coastal zone management. In Man, Land and Sea. The Agricultural Development Council. Bangkok.

Chua, T.E. 1998. Leasson learned from practicing integrated coastal management in Southeast Asia. Ambio vol. 27 No. 8 : 599-610.

Clark, J.R. 1992. Integrated Management for Coastal Zones. FAO Fisheries Department.

Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca Raton, New York, London, Tokyo.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting and M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Dharma Putra,K.G., 2003, Partnership and Public Participatory Approach for Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia

Sorensen, J.C and S.T. McCreary. 1990. Institusional Arrangements for Managing Coastal Resources and Environments. Revised second edition. National Park Service, U.S. Department of the Interior and U.S. Agency for International Development. Washington .

Sukarno, N. Naamin and M. Hutomo. 1986. The status of coral reef in Indonesia. Proceeding of MAP-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem : Their Management Practices and Research/Training Needs. Bogor 4-7 March 1986, 14-16.

Sulivan, K., L. de Silva, A.T. White and M. Wijeratne. 1995. Environmental Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka. Coastal Resources Management Project of The University of Rhode Island and the Coast Conservation Department. Sri Lanka.

Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup

FMIPA Universitas Udayana

Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali.

Tel. 0361-467712, 7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712

E-mail: kgdharmap@telkom.net