Selasa, 11 Agustus 2009

Sumbangan Kajian Budaya dalam pengelolaan lingkungan hidup

SUMBANGAN KAJIAN BUDAYA

DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Ketut Gede Dharma Putra

Universitas Udayana

Kampus Bukit Jimbaran Bali

Email:kgdharmap@telkom.net

1. Pendahuluan

Kesadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya kelestarian lingkungan hidup mulai muncul sejak tahun 1950-an yang dipicu oleh perasaan terancam akibat peningkatan pencemaran lingkungan hidup yang berasal dari industri, transportasi dan pertanian. Kesadaran yang secara cepat menyebar ke tataran global, bermula di negara maju yang mempunyai banyak industri, penggunaan kendaraan bermotor dalam jumlah yang besar dan pertanian modern yang menggunakan berbagai jenis pestisida, pupuk kimia, dan bahan pengendali hama lainnya. Pencemaran lingkungan berupa asap kabut yang sering berhari-hari menyelimuti Los Angeles dan New York, serta bau menyengat dari air sungai di perkotaan akibat limbah industri yang mendapatkan publisitas yang besar-besaran di media makin mengukuhkan kesadaran untuk mengendalikan pencemaran lingkungan tersebut (Soemarwoto,2001:12).

Perubahan kualitas lingkungan hidup ditataran global, semakin menjadi pusat perhatian masyarakat internasional, setelah munculnya beberapa fakta baru tentang dampak pencemaran lingkungan hidup terhadap kesehatan manusia. Pada tahun 1955 muncul kejadian tentang penyakit minamata, suatu penyakit cacat mental dan kerusakan syaraf permanen, yang disebabkan konsumsi ikan dan kerang-kerangan yang mengandung logam merkuri (Hg) yang berasal dari buangan limbah pabrik Chisso Corporation Jepang. Kejadian yang sama terjadi di Irak tahun 1961 yang mengakibatkan lebih dari 35 orang meninggal dan 321 orang cacat permanen. Pada tahun 1963, di Pakistan terjadi pencemaran limbah pabrik yang mengakibatkan 4 orang meninggal dan 34 orang cacat permanen. Pada tahun 1966 di Guatemala terjadi pencemaran limbah pabrik mengandung logam berat yang mengakibatkan 20 orang meninggal dan 45 orang cacat permanen (Fardiaz,1992:54). Tahun 1952, mencuat kasus pencemaran di sungai Kalamazoo, Michigan Amerika Serikat yang ditimbulkan oleh buangan limbah pabrik kertas yang mengandung PCB (polychlorinated biphenyls) menyebabkan musnahnya kehidupan di aliran sungai tersebut. Isu pencemaran lingkungan hidup ditataran global menjadi pemicu, munculnya isu-isu lingkungan hidup lainnya hingga sekarang seperti kerusakan hutan, banjir dan longsor, kekeringan dan rusaknya lahan pertanian, hingga perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global.

Masyarakat dunia telah berusaha melakukan upaya-upaya pengendalian terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Berbagai kesepakatan telah dilakukan agar dampak yang terjadi dapat diminimalkan, seperti Deklarasi Stokholm, Protocol Kyoto, maupun Bali Road Map. Namun, kehancuran lingkungan hidup yang menjadi trauma umat manusia terus saja berlangsung. Oleh karena itu, mulai dirasakan adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan yang mendasar terhadap reaksi umat manusia menghadapi kekuasaan alam semesta. Salahsatu perubahan besar yang sedang berlangsung dalam upaya penyelamatan masa depan lingkungan hidup adalah dengan makin memberikan peluang kepada pengetahuan lokal untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.Semakin banyak dilakukan dekonstruksi terhadap cara pandang umat manusia terhadap kekuasaan alam semesta. Pada bagian inilah, perspektif kajian budaya makin mendapatkan tempat untuk dijadikan pemecah kebuntuan cara pikir umat manusia menghadapi tantangan alam semesta. Tulisan ini akan menguraikan sumbangan pemikiran berbasis kajian budaya dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup.

2. Kesadaran terhadap permasalahan perubahan lingkungan hidup

Kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, semakin menarik perhatian dunia internasional setelah pada tahun 1962, Rachel Carson seorang penulis berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai editor US Fish and Wildlife Service menerbitkan buku berjudul The Silent Spring (musim semi yang sunyi). Buku yang sangat populer pada masa itu, mengisahkan bagaimana alam di musim semi yang semula cerah ceria penuh dengan suara burung berkicau tiba-tiba menjadi sunyi akibat musnahnya binatang berkicau tersebut sebagai dampak pencemaran bahan-bahan kimia yang memotong rantai makanannya. Kontrovesi yang diakibatkan oleh buku tersebut memberikan dampak yang luas terhadap kesadaran akan bahaya pencemaran lingkungan hidup bagi kehidupan manusia(Hodges, 1973:6; Soemarwoto, 2001:9).

Pada tahun 1972, Swedia mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan sebuah konferensi PBB di Stokholm yang menyusun deklarasi PBB untuk penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Telah disadari bahwa peningkatan pencemaran lingkungan hidup berkaitan erat dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia yang populasinya semakin bertambah (UNEP,2004:9). Pemenuhan kebutuhan hidup manusia memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam karena adanya perbedaan pandangan hidup bangsa-bangsa di dunia terhadap pengertian kesejahteraan. Di picu oleh arus globalisasi, maka pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti penyediaan makanan, sandang dan perumahan meningkat secara tajam yang berdampak pada gangguan kelestarian lingkungan hidup (Tucker, 2003:8).

Setelah melakukan pengamatan yang mendalam terhadap dampak pembangunan bagi kelestarian lingkungan hidup, maka pada tahun 1987 Komisi Sedunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (World Commision on Environment and Development) mengumumkan laporan Borundlandt tentang konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berarti pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Diharapkan semua pemerintahan di dunia dapat mengadopsi konsep tersebut demi kesejahteraan masyarakat (Soemarwoto, 2001:11)..

Namun,untuk menterjemahkan konsep pembangunan berkelanjutan menjadi program-program pembangunan yang ramah lingkungan merupakan masalah yang tidak sederhana, khususnya bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks yang seringkali menimbulkan konflik yang tidak ada ujung pangkal penyelesaiannya. Oleh karena itu, teori-teori pembangunan yang berasal dari negara maju yang diperkirakan memiliki keberhasilan dalam implementasinya banyak diadopsi begitu saja oleh para pemimpin pemerintahan di negara-negara sedang berkembang melalui gagasan yang diwacanakan oleh kaum teknokrat di negara bersangkutan.

3. Tantangan ditataran lokal

Sejak awal orde baru, pemerintah Indonesia mengadopsi teori-teori pembangunan berbasis pada pertumbuhan ekonomi. W.W. Rostow, seorang ekonom Amerika Serikat yang menjadi bapak teori pembangunan dan pertumbuhan banyak mempengaruhi kebijakan pembangunan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dengan melakukan pelaksanaan perencanaan pembangunan lima tahunan, pemerintah di Indonesia berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi.

Untuk mengimbangi pembangunan perekonomian agar fungsi lingkungan hidup tetap lestari, pemerintah Indonesia sejak tahun 1982 telah menerbitkan banyak kebijakan tentang lingkungan hidup baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri, gubernur maupun bupati. Dikeluarkannya berbagai peraturan di bidang lingkungan hidup tersebut dimaksudkan untuk menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan sesuai dengan kesepakatan global.

Namun, setelah berjalannya waktu, pada tahun 1990-an, fakta-fakta di lapangan menunjukan telah terjadi peningkatan kerusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia yang semakin parah setiap tahun. Sejak tahun 1970 hingga 1985 telah terjadi perubahan alih fungsi lahan di Indonesia yang drastis akibat beralihnya perekonomian masyarakat dari sektor agraris ke sektor industri dan jasa yang berakibat pada tingginya produksi limbah industri dan ekploitasi sumber daya alam (Zen,1985:32).

Dengan menyimak fakta-fakta kerusakan yang ditimbulkan, penerapan teori Rostow tentang pembangunan yang berpijak dari teori modernisasi dalam pembangunan di Indonesia, telah dirasakan gagal untuk memberikan kesejahteraan masyarakat. Hanya sebagian kecil dari warganegara Indonesia yang dapat mencapai masyarakat modern yang dicita-citakan oleh teori pertumbuhan ekonomi berbasis pada modernisasi. Yang banyak terjadi adalah ketimpangan sosial yang tajam antara kelompok kecil pemilik modal konglomerasi dengan sebagian besar warganegara yang tidak memiliki akses apapun terhadap sumber daya. Dalam konteks lingkungan hidup, telah terjadi ekploitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan budaya global para pemilik modal tanpa memperhatikan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup (Fakih,2003:57)..

Pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada pemujaan terhadap teknologi yang berlebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan menjadi tidak sehat baik secara fisik maupun secara mental (Capra,2004:280). Gaya hidup yang dipengaruhi ideologi materialisme dan konsumerisme yang berasal dari budaya global telah menimbulkan kepanikan global karena semakin tingginya pencemaran, timbulnya lobang ozon, hilangnya spesies satwa langka, dan lenyapnya lapisan-lapisan moral, spiritual dan kemanusiaan. Globalisasi telah menimbulkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap segala dimensi dan nilai yang diyakini beribu tahun akibat tenggelamnya mereka kedalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer yang dipicu oleh ideologi kapitalisme(Piliang,2004:105).

Pengaruh budaya global berbasis kemajuan teknologi terhadap lingkungan hidup telah banyak dilaporkan dalam risalah konferensi dengan tema “ The Ecological Failures in International Development” oleh Commoner pada tahun 1973. Dalam risalah tersebut dipaparkan contoh-contoh kegagalan pembangunan di seluruh dunia akibat digantikannya kondisi alam (biosfer) yang sangat halus oleh produk teknologi. Hampir semua proyek irigasi berbasis teknologi menghasilkan ledakan wabah penyakit baru pada manusia dan hewan melalui air. Penerapan pengendalian hama dengan pestisida mengakibatkan ledakan wabah baru karena terputusnya rantai makanan. Perbaikan teknik peternakan menimbulkan dampak berkembangbiaknya parasit-parasit baru. Penerapan teknologi modern di bidang kesehatan menyebabkan gangguan fisiologi manusia. Pemanfaatan teknologi tanpa kabel (wireless technology) menimbulkan gangguan fungsi otot manusia karena perubahan perilaku menjadi malas., dan banyak lagi contoh-contoh yang mengungkapkan bagaimana budaya global telah mempengaruhi perilaku manusia (Sukmana,2002:1). .

Dampak yang ditimbulkan oleh transformasi ruang, globalisasi, dan gaya hidup kota yang memuja budaya konsumerisme dan materialisme menimbulkan tekanan yang nyata terhadap sumber daya yang tersedia, termasuk sumber daya perkotaan yang sangat terbatas. Berbagai sarana dan prasarana menjadi kurang memadai. Biaya hidup perkotaan yang semakin tinggi, polusi suara, air, udara, rawan kebakaran, kecelakaan, dan tingkat kriminalitas merupakan faktor yang menurunnya kenyamanan hidup yang mempengaruhi prilaku masyarakat (Abdullah, 2006:30).

Kondisi lingkungan hidup di tataran lokal Bali menunjukkan kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Isu-isu utama lingkungan hidup yang muncul di Provinsi Bali pada umumnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Bertambah luasnya lahan kritis dan tingginya laju alih fungsi lahan;

2) Permasalahan pemenuhan air bersih;

3) Masalah sampah dan limbah;

4) Meningkatnya pencemaran air;

5) Abrasi pantai;

6) Pencemaran udara dan kebisingan;

7) Kerusakan hutan;

8) Degradasi biodiversitas;

9) Masalah kependudukan dan rendahnya kualitas pendidikan;

10) Permasalahan sosial ekonomi, ketimpangan perekonomian Bali Utara, Tengah, dan Selatan (termasuk kemiskinan dan kesehatan masyarakat); dan

11) Degradasi sosial budaya, komodifikasi nilai-nilai agama.

Disamping itu, beberapa isu lingkungan yang perlu dijadikan prioritas dalam pengendalian kerusakannnya yang semakin parah adalah isu-isu yang berkaitan dengan :

1) Luas kawasan hutan di Bali belum mencapai luas yang ideal sebesar 30 %. Dimana sejak tahun 2000 sampai saat ini masih sekitar 130.686,01 ha atau 23,2% dari luas wilayah pulau Bali;

2) Luas lahan kritis di Bali, baik yang ada di dalam kawasan hutan maupun yang berada di luar kawasan hutan mencapai 286.938,00 ha atau 50,9 % dari luas dataran Bali. Daerah yang lahan kritisnya cukup luas adalah Kabupaten Buleleng, Karangasem, Bangli dan Jembrana. Dibandingkan dengan luas lahan kritis di wilayah Bali, lahan yang tergolong sangat kritis adalah 1,82%, kritis 9,78%, agak kritis 36,81 % dan potensial kritis 51, 59%.

3) Secara kuantitas, potensi air bersih berkurang setiap tahun, karena berkurangnya sumber air baku yang disebabkan oleh mengecilnya debit dan menurunnya kualitas air oleh adanya pencemaran. Secara umum pencemaran air tanah belum jelas kelihatan, baik yang desebabkan oleh kegiatan rumahtangga maupun industri. Pencemaran air tanah lebih banyak diakibatkan oleh pengembilan yang melampaui kemampuannya. Sehingga potensi air tanah menjadi menurun. Hal ini dapat dijumpai pada air tanah di Kota Denpasar, terutama pada daerah-daerah yang padat permukimannya, atau pada daerah – daerah pariwisata. Bahkan intrusi air laut sudah sudah dijumpai pada air tanah pantai di kawasan pariwisata Sanur. Sedangkan pencemaran air permukaan telah pula terjadi pada sungai-sungai yang terutama berada di Kota Denpasar dan Badung. Beberapa parameter kualitas air khususnya kekeruhan, logam berat timbal (Pb), Cadmium (Cd), dan Tembaga (Cu) di beberapa sungai sudah melampaui baku mutu yang ditetapkan.

4) Masalah sampah dan limbah dijumpai terutama pada daerah-daerah yang mempunyai laju pembangunan yang cukup pesat, seperti Kota Denpasar dan Badung. Masalah ini selalu akan berkaitan dengan jumlah dan aktivitas penduduknya, karena makin besar jumlah penduduk dan aktivitasnya makin besar pula jumlah sampah dan limbah yang dihasilkan.

5) Kualitas udara di Bali secara umum tergolong masih baik. Parameter kualitas udara seperti kadar Pb, NO2,SO2, dan debu masih dibawah ambang batas baku mutu. Namun tingkat kebisingan di lokasi yang padat seperti terminal dan pusat pertokoan sudah melampui baku mutu kebisingan. Akibat tidak tersedianya sistem transportasi publik yang memadai, pencemaran udara akibat dari kemacetan semakin meningkat.

6) Erosi pantai di Bali merupakan masalah lingkungan yang sangat serius, karena telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kecil akibat hilangnya lahan-lahan penduduk, rusaknya fasilitas umum seperti jalan, permukiman, pura dan sekolah serta fasilitas pariwisata (hotel,restoran). Masalah erosi pantai telah terjadi hampir sebagian besar pantai di Bali, dan penanganannyapun telah dilakukan di beberapa tempat, seperti di Pantai Tanah Lot, Sanur, dan Nusa Dua . Akan tetapi masih banyak yang belum mendapat perhatian sehingga terlihat semakin parah tingkat kerusakannya, seperti terlihat di Pantai Padang Galak dan Pantai Lebih.

7) Kondisi terumbu karang, hanya 35 % ada dalam kondisi baik, 40 % kondisinya sedang dan 25 % kondisinya buruk dengan penutupan karang hidup kurang dari 25%

8) Jumlah penduduk miskin di Bali sebesar 105.160 KK (13,09%), dengan laju pertumbuhan sebesar 6,68%. Kabupaten Buleleng dan Karangasem merupakan kabupaten yang memiliki KK miskin terbanyak, yaitu masing-masing 58.860 KK dan 44.552 KK.

5. Kebijakan lingkungan di Indonesia

Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya untuk generasi masa kini dan generasi masa depan. Agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan bangsa Indonesia, maka upaya pendayagunaan sumber daya alam Indonesia harus dilaksanakan dengan berpedoman pada daya dukung lingkungan hidup.Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diupayakan dengan mengedepankan kaidah-kaidah pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

Sebagai bangsa yang telah terbukti berhasil tetap selamat sampai hari ini, dalam melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakatnya tetap harus mengikuti landasan bernegara sesuai falsafah bangsa. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara yang diambil dari intisari nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia, merupakan kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan yang dinamis. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada harus bermuara pada kemampuan daya dukung lingkungan hidup serta memperhatikan kebutuhan masa depan.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus tetap memperhitungkan kelangsungan kehidupan bangsa sampai masa yang tidak terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut peran para pemuda dalam upaya pelestarian lingkungan hidup sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan serta kelangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

6.Pemahaman Terhadap Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menguraikan lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Secara umum lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga bagian yang besar yakni Lingkungan A (Abiotik), B (Biotik), dan C (Culture/Kebudayaan Masyarakat/Sosial). Lingkungan A adalah lingkungan yang berkaitan dengan benda-benda fisik seperti air, tanah, udara, angin, batu-batuan, dan lain lain. Lingkungan B adalah berkaitan dengan lingkungan flora dan fauna. Termasuk didalamnya organisme hidup mulai dari organisme bersel satu hingga organisme tinggi. Sedangkan lingkungan C berkaitan dengan aspek kebudayaan manusia yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, budaya, kesehatan, keamanan, dan lain lain.

Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam segala aspeknya.

Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu, diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Dalam melaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, perana semua pihak sangat diharapkan untuk keberlanjutan daya dukung lingkungan hidup.Dalam melaksanakan pembangunan di Indonesia, diharapkan terjadi suatu kegiatan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup yakni suatu upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya tampung lingkungan hidup dapat menurun.

Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Sehingga keberlajutan pembangunan seharusnya diimbangi dengan kemampuan untuk tetap melestarikan sumber daya yang ada demi generasi yang akan datang. Peranan pemuda tentu sangat penting dalam menjaga agar sumber daya yang ada tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.

Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sehingga diperlukan upaya pelestarian daya tampung lingkungan hidup sebagai rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya.

Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.

Pembangunan ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri yang menjadi andalan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat akan berdampak pada upaya pelestarian lingkungan hidup sebagai akibat pemakaian berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif dalam proses produksi dan pemeliharaan. Disamping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.

Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak lingkungan hidup sehingga resiko terhadap lingkungan hidup dapat ditekan sekecil mungkin. Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Suatu perangkat hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu dipertegas batas wewenang tiap tiap instansi yang ikut serta di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup.

7. Sumbangan Kajian Budaya dalam Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

Kajian Budaya sebagai arena interdisipliner yang mempergunakan beragam pendekatan untuk menguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan melalui telaahan terhadap semua praktik, institusi, sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nuilai, kepercayaan, kompetensi, rutinitas kehidupan, dan bentuk-bentuk kebiasaan perilaku masyarakat dirasakan sangat tepat dijadikan pemecah kebuntuan olah pikir manusia yang terlalu lama dipengaruhi alam pikir terstruktur. Proses dekonstruksi pemikiran modernitas yang sangat mengagungkan klaim positivistis dalam menganalisis sumber kehancuran alam semesta, ternyata dapat secara mudah menjelaskan relasi kekuasaan dan pengetahuan yang direpresentasikan oleh praktek-praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan.

Salah satu sumbangan perspektif kajian budaya dalam upaya penyelamatan masa depan alam semesta adalah munculnya diskursus pembangunan berkelanjutan. Konsep yang memadukan isu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup memberikan pengertian yang mudah terhadap pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai dan pengetahuan lokal untuk menyelamatkan masa depan lingkungan hidup. Relasi kebijakan pembangunan dengan upaya-upaya menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan kemampuan sumber daya alam dapat dijelaskan dengan sederhana tentang pentingnya peran tokoh-tokoh lokal dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, melalui perspektif kajian budaya dapat diperlihatkan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa memasukkan unsur konservasi lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan non-fisik, ke dalam kerangka proses pembangunan.

Perspektif kajian budaya memberikan penilaian yang setara terhadap masalah-masalah yang sebelumnya dianggap marginal. Seperti dalam konteks pencemaran lingkungan hidup akibat perilaku masyarakat perkotaan terkait sampah dan limbah, melalui cara pandang berbasis kajian budaya dapat dilakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat terhadap sampah dan limbah. Pada pengertian lama, sampah dan limbah dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna, kotor, dan harus dihindarkan. Namun, sesuai dengan realitas yang ada, muncul pengetahuan baru yang menempatkan sampah dan limbah sebagai sesuatu yang penting, dan harus dihargai secara pantas karena memiliki nilai ekonomi dengan mengubahnya menjadi pupuk, sumber energi, atau materi yang berguna lainnya. Refleksi ini memungkinkan masyarakat menerima dengan baik program-program pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, seperti pembangunan instalasi pengolahan sampah, instalasi pengolahan air limbah, dan program pengamanan pantai.

Pada tataran kebijakan, perspektif kajian budaya seharusnya secara mudah dapat menjelaskan pentingnya keberpihakan terhadap upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui perencanaan pembangunan yang membela kepentingan lingkungan. Berdasarkan atas kondisi dan isu lingkungan yang berkembang di Bali , dikaitkan dengan pengelolaan lingkungan di tataran global yang telah dilaksanakan oleh negara-negara yang tergabung dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup PBB, dapat dikemukakan beberapa program yang bisa dijadikan prioritas dalam mengamankan perubahan lingkungan hidup, diantaranya:

1) Meningkatkan upaya rehabilitasi hutan dan reboisasi lahan kritis di dalam dan di sekitar kawasan hutan serta melakukan inventarisasi dan pemantauan kemungkinan munculnya lahan kritis baru, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.

2) Penerapan teknik konservasi tanah dan air pada lahan pertanian dan lahan kritis.

3) Melakukan pembinaan, pengelolaan, pengendalian dan penertiban usaha pertambangan, baik usaha tambang pada lahan pemerintah maupun lahan masyarakat

4) Mengembangkan air baku baik yang berasal dari air permukaan maupun dari air tanah dan mata air.

5) Mengidentifikasi sumber-sumber pencemar yang dapat mengganggu potensi sumber air dan mengupayakan kegiatan-kegiatan aksi untuk melestarikan dan mencari alternatif sumber air baku.

6) Peningkatan partisipasi masyarakat secara aktif, memikirkan dan menunjukkan sikap dan perilaku dalam penanganan sampah dan limbah

7) Meningkatkan usaha terpadu untuk melakukan upaya yang dapat menjaga kualitas udara terutama di daerah perkotaan,khususnya dengan program meningkatkan kualitas transportasi publik.

8) Pemberdayan terpadu masyarakat miskin berbasis pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya.

9) Mengembangkan sumber energi yang terbarukan/energi alternatif untuk mengurangi konsumsi bahan energi tidak terbarukan.

10) Mengoptimalkan konsumsi produk-produk lokal dan berbasis manajemen hijau/berwawasan lingkungan.

4.Penutup

Kajian budaya berusaha mengekplorasi hubungan antara bentuk-bentuk kekuasaan dan kebudayaan untuk dapat melakukan perubahan. Perubahan lingkungan global yang menjadi tantangan di tataran lokal memerlukan komitmen bersama untuk melakukan adaptasi dan mitigasi agar terus terjadi keberlanjutan kehidupan. Kesadaran terhadap perubahan lingkungan telah menjadi komitmen bersama masyarakat dunia. Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di bidang lingkungan hidup, maka warga masyarakat lokal memiliki kewajiban untuk ikut bersama-sama menjaga kelestarian daya dukung lingkungan hidup yang menjadi tempat kehidupannya. Hal itu dapat dilakukan dengan ikut secara aktif dalam setiap kegiatan-kegiatan pelestarian lingkungan hidup melalui tindakan bersifat lokal yang langsung dapat dirasakan perubahannya.

Daftar Pustaka

Capra F., 2004, Titik Balik Peradaban-Sains,Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan, Terjemahan dari buku The Turning Point oleh Thoyibi M., Yogyakarta: Penerbit Bentang Pustaka

Capra F., 2005, The Hidden Connection : Strategi Sistemik Melawan Kapitalisme Baru, Penterjemah Andya Primanda, Yogyakarta: Penerbit Jalasutra

Dharma Putra,K.G., 2003, Partnership and Public Participatory Approach for Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia

Dharma Putra, K.G.,2005. Memilih Orientasi Strategi Penerapan Tri Hita Karana (THK). Dalam Green Paradise, Tri Hita Karana Tourism Awards & Accreditation. Denpasar: Bali Travel News dan Pemda Bali.

Dharma Putra,K.G.,2007, Implementasi THK dalam Lingkungan Hidup Realitas, Harapan dan Rekomendasi Kebijakan, dalam Bali Is Bali Forever, Denpasar

Fakih,M.,2003,Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fardiaz,S.,1992, Polusi Air dan Udara, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hodges,L., 1973. Environmental Pollution, New York: Holt, Rinehart and Winston.

Mitchell,et al, 2000, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Jogyakarta: Gajahmada Univerity Press

Soemarwotto O.,2001, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Kepada Rakyat, Ekonomis,Berkelanjutan, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Tucker M,E dan Grim J.A.,2003, Agama, Filsafat,dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Undang-Undang no 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Zen,M.T. (Editor),1985, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

*) Dr.Ketut Gede Dharma Putra,M.Sc adalah staf pengajar di Universitas Udayana yang menjadi Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) – Bapedalda Provinsi Bali; Tim Tri Hita Karana (THK) Award and Accreditation; tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Peguyangan Kangin Denpasar. Dapat dihubungi melalui telpon 03617939904, 08123970922, Fax. 0361 467712,

e-mail:kgdharmap@telkom.net.

Senin, 10 Agustus 2009

TINJAUAN STRATEGIS, PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PARIWISATA BERBASIS BUDAYA DAN MASYARAKAT LOKAL DI INDONESIA

Oleh : Ketut Gede Dharma Putra

I. PENDAHULUAN

Pembangunan berbasis kreativitas dan kemandirian, menjadi diskursus yang menarik untuk dicermati sebagai upaya menumbuhkan upaya-upaya cerdas menuju tercapainya tujuan pembangunan bangsa. Pengalaman masa lalu dalam perencanaan pembangunan yang mengabaikan azas partisipasi dan demokratisasi, telah membuka pandangan baru yang lebih berpihak kepada kemandirian masyarakat. Menurut Colman dan Nixon (1978) pembangunan yang menyebabkan peningkatan di bidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang merata antar masyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Oleh karenanya, di banyak negara yang telah berhasil meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakatnya, pembangunan ekonomi selalu diupayakan untuk menciptakan kemandirian dan pemerataan kesejahteraan.

Pada periode tahun 1980-an, pengembangan pariwisata di Indonesia sangat dipengaruhi oleh teori pertumbuhan. Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan, yang percaya sepenuhnya dengan teori tricle-down effect dimana konsep dasarnya adalah dengan mengembangkan perusahaan besar, secara otomatis akan memberikan pengaruh positip pada perusahaan kecil di bawahnya atau masyarakat kecil di sekitarnya. Ternyata kajian emperis menunjukkan bahwa asumsi teori modernisasi ini tidak berjalan dengan baik. Demikian halnya pembangunan pariwisata di Bali, dimana pada tahun 70-an dengan memanfaatkan jasa konsultan dari Perancis dengan sponsor UNDP (the United Nation Development Program) dan the International Bank for Reconstruction and Development, dibangunlah hotel yang menganut teori modernisasi tersebut (McCarthy, 1994). Konsep ini mendapat kritikan yang sangat tajam, dimana pariwisata dituduh sebagai neo-kapitalisme, yang hanya mengeksploitasi masyarakat lokal, sementara keuntungan atau manfaat dari pembangunan sebagian besar tersedot keluar, dinikmati oleh kaum kapitalis.

Pariwisata konglomerasi memberikan porsi yang sangat kecil kepada masyarakat lokal. Kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat makin besar. Pariwisata konglomerasi juga disinyalemen meningkatkan import barang dan jasa, serta membutuhkan lahan yang sangat luas sehingga banyak lahan penduduk lokal yang sudah berpindah tangan untuk memuaskan kebutuhan sektor pariwisata yang berskala besar tersebut. Demikian juga kesenjangan pembangunan infrastruktur semakin tajam antara daerah tujuan wisata dan daerah non-tujuan wisata. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka salah satu responnya adalah mengubah paradigma pembangunan, yaitu mengurangi fokus pada pariwisata konglomerasi, dan lebih menekankan pada pariwisata kerakyatan. Dalam tulisan ini, akan diulas tinjauan strategis pengembangan pariwisata kerakyatan yang berbasis budaya dan masyarakat lokal dengan kasus beberapa lokasi di Bali. Sumber utama ulasan berasal dari penelitian tentang implementasi pariwisata kerakyatan di Provinsi Bali (2003,2005) dan pelaksanaan Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation (2000-2007), serta beberapa pustaka yang relevan.

II. PARIWISATA KERAKYATAN

Pariwisata kerakyatan yang salah satu contohnya adalah pariwisata pedesaan, menitikberatkan pengembangan pariwisata berbasis pada masyarakat, khususnya di pedesaan dengan modal budaya dan keindahan alam setempat. Pengembangan pariwisata jenis ini didorong oleh pemerintah dalam rangka untuk penganekaragaman pendapatan pada masyarakat dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan adalah merupakan masalah klasik pada daerah pedesaan khususnya di negara sedang berkembang. Namun di negara-negara maju masalah yang utama di daerah pedesaan adalah kelebihan produksi pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi untuk mengganti tenaga kerja di bidang pertanian, yang ujung-ujungnya memunculkan masalah tenaga kerja. Menurut Almar (1993), pertanian di negara Inggris hanya memerlukan 2,5% dari total tenaga kerja yang ada, walaupun lahan yang digarap seluas 3/4 dari permukaan negara tersebut. Ini artinya, baik negara yang sedang berkembang maupun negara yang sudah maju menghadapi problem ekonomi dan tenaga kerja terutama di daerah pedesaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, ditawarkan pariwisata pedesaan sebagai salah satu solusinya di banyak negara di dunia.

Pariwisata yang berkembang di Bali, rupanya mengalami tudingan yang seirama dengan yang dialami oleh negara lain yaitu bahwa industri ini dituduh salah satu sebagai penyebab nilai impor tinggi. Demikian juga industri yang gemerlapan ini dituding mengabaikan masyarakat lokal di dalam penyerapan tenaga kerjanya. Oleh sebab itu perlu dilakukan sebuah evaluasi terhadap kandungan impor barang yang dilakukan oleh industri pariwisata dan juga tenaga kerjanya.

Perkembangan pariwisata pedesaan juga sudah semakin pesat dikembangkan oleh pemerintah daerah Bali untuk mengangkat pendapatan masyarakat pedesaan. Namun masih ada suara sumbang bahwa masyarakat setempat tidak bisa terlibat secara maksimal dalam industri pariwisata yang sedang berkembang di desanya. Pendidikan dan keterampilan yang rendah dari masyarakat lokal dianggap sebagai biang keladinya. Disamping hal-hal tersebut di atas, perlu juga dianalisa, sejauh mana kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah memihak masyarakat lokal untuk bisa terlibat di dalam industri pariwisata.

Pengembangan pariwisata berbasis budaya di pedesaan sangat memerlukan kesamaan para pihak dalam memandang kegiatan tersebut sebagai suatu kegiatan yang strategis. Tantangan yang harus ditangkap sebagai peluang yang menjanjikan kebaikan adalah mengaitkan pengembangan pariwisata kerakyatan sebagai sebuah industri budaya yang dapat dikelola secara profesional dan terukur. Industri budaya dapat diartikan sebagai ‘industri’ yang berbasiskan budaya, dan produknya adalah budaya, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi suatu ‘komoditas’. Terkait dengan hal ini, yang umum dimasukkan sebagai “industri budaya” selama ini antara lain film, televisi dan fotografi, dan sebagainya, yang semuanya menggunakan teknologi modern, karena industri pada awalnya berasosiasi dengan teknologi modern atau manufacturing. Namun sesungguhnya, industri budaya tidak saja yang terkait dengan manufacturing, melainkan juga seluruh perlakuan pengindustrian terhadap kebudayaan, baik budaya tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi), seperti cinderamata dengan bentuk dan desain tradisional, tarian/seni pertunjukan, sesaji, dan upacara adat yang di(re)produksi, atau dikemas untuk memasuki ranah ekonomi komersial. Industri budaya sering juga disamakan dengan “industri kreatif”, yang meliputi 14 subsektor, termasuk di dalamnya seni pertunjukan, kerajinan, desain, musik, dan pasar barang seni. Menurut BPEN (2008), industri ini telah menyumbangkan 6,4% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2006.

Menurut Pitana (2008), pariwisata budaya sesungguhnya merupakan salah satu bentuk “Industri Budaya”, karena sesungguhnya pariwisata budaya merupakan salah satu bentuk “pemanfaatan” berbagai aspek kebudayaan secara massal, dalam suatu ‘sistem produksi’. Sistem ‘produksi’ dalam hal ini mencakup aspek produksi dan reproduksi, distribusi dan/atau pemasaran produk, dan konsumsi produk tersebut.

Pengembangan industri budaya dapat menimbulkan transformasi pemaknaan kebudayaan, atau memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kebudayaan dipandang dan diperlakukan oleh pendukungnya. Kebudayaan yang semula merupakan penanda jati diri (identity marker) suatu etnik diposisikan sebagai modal atau sumber daya, atau Cultural Capital (Bourdieu, 1998). Sebagai modal/sumber daya, kebudayaan disejajarkan dengan sumber daya-sumber daya yang lain, seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia. Selanjutnya, Cultural Capital mengalami proses komoditisasi dan monetisasi dalam suatu proses industri budaya. Budaya, dalam proses industrialisasi ini mengalami proses produksi (reproduksi), distribusi dan konsumsi.

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan budaya lokal memerlukan sinkronisasi aspek pelestarian di satu fihak, dengan aspek pemanfaatan dalam bentuk pariwisata yang diasumsikan akan merusak pusaka budaya di fihak lain. Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang mensinergikan antara aspek ekonomi, sosial dan pelestarian lingkungan hidup, maka tantangan utama pengembangan pariwisata budaya yang berbasis pada masyarakat lokal dan keindahan alam adalah menjaga keberlanjutannya tanpa merusak tatanan yang sudah ada.

III. TANTANGAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA BERBASIS MASYARAKAT

Kendala utama masyarakat pedesaan (lokal) untuk bisa mengisi ketenagakerjaan di bidang pariwisata adalah lemahnya penguasaan bahasa asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka diperlukan inventarisasi kekurangan-kekurangan masyarakat lokal sebelum pariwisata pedesaan tersebut di kembangkan di suatu daerah, sehingga masyarakat lokal siap diserap pada saat industri tersebut diluncurkan. Dalam hal ini pendidikan di bidang bahasa asing untuk masyarakat lokal perlu dilakukan, sehingga tenaga kerja lokal bisa terserap lebih banyak dengan mendirikan kursus-kursus bahasa asing yang bisa dijangkau oleh masyarakat lokal, baik dari segi finansial maupun jarak tempuh.

Tantangan lainnya adalah kondisi infrastruktur yang ada di pedesaan, seperti sarana jalan, drainase, air minum, listrik, klinik kesehatan, internet, maupun transportasi. Hal ini harus menjadi perhatian utama program pembangunan infrastruktur oleh pemerintah.

Peluang yang dimiliki oleh penduduk lokal dalam pengembangn pariwisata kerakyatan adalah penguasaan kearifan lokal (local genius) yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Kalau keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masyarakat lokal tersebut ditunjang dengan penguasaan bahasa asing dan cukup pendidikan, niscaya masyarakat lokal akan bisa bersaing untuk bisa terlibat dalam industri pariwisata. Hal ini searah dengan kebijakan pariwisata kerakyatan yaitu pariwisata dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Modal dalam bentuk uang, penduduk lokal masih kekurangan, akan tetapi penduduk desa mempunyai investasi potensi daerah (lahan beserta ikutannya) yang merupakan modal dasar pengembangan pariwisata kerakyatan. Penduduk lokal juga memiliki investasi berupa pengetahuan tradisional dalam mengelola budaya dan lingkungan alam sebagai model pengembangan pariwisata kerakyatan yang ramah lingkungan sebagai implementasi pariwisata kerakyatan. Menerapkan managemen pariwisata kerakyatan terutama dalam pengelolaan fasilitas, obyek dan daya tarik wisata khususnya di pedesaan diberi kepercayaan pada masyarakat lokal terutama pengelolaan pengembangan pariwisata terpadu alam dan budaya yang bisa dibantu para pengusaha terutama pemasok wisatawan serta difasilitasi pemerintah.

IV. STRATEGI KEBIJAKAN

Pengembangan pariwisata berbasis budaya dan masyarakat lokal sangat memungkinkan dapat menumbuhkan pembangunan ekonomi kreatif di pedesaan. Bali sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang dapat dijadikan acuan bagi daerah lain di Indonesia. Peran pemerintah menjadi sangat penting dalam menumbuhkan suasana yang harmonis para pelaku dan para pihak terkait melalui sinkronisasi kebijakan yang memberikan keuntungan kepada semua pihak. Untuk terciptanya sinkronisasi asas-asas kebijakan pembangunan pariwisata kerakyatan mutlak perlu sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Analisis terhadap kebijakan pemerintah menunjukkan belum adanya sinkronisasi PerDa tentang kepariwisataan dengan Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Hal ini tidak sesuai dengan asas konsistensi logika norma yang harus terwujud dalam suatu sistem hukum (legal system) yang utuh dan bulat dari suatu negara hukum.

Bersamaan dengan itu dapat juga diinterpretasi adanya kekurang cermatan pembentuk PerDa dalam merancang materi PerDa yang ada benang merahnya dengan peraturan yang lebih tinggi. Disamping belum adanya benang merah antara perundang-undangan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, PerDa juga belum membuat sangsi yang tegas bagi pelaku pelanggaran. Oleh sebab itu masyarakat lokal belum terlindungi dengan baik, walaupun PerDa di bidang kepariwisataan tersebut sudah dibuat.

Disisi lain, pengamatan terhadap kebijakan pemerintah di daerah menunjukkan belum meratanya pengetahuan fungsionaris desa (key person) terhadap keberadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung substansi kepariwisataan tersebut, seperti misalnya Undang-Undang Gangguan (1926) tentang Hinder Ordonansi.

Dalam rangka untuk mendukung implementasi asas manfaat bagi warga setempat dapat dilihat bahwa dikalangan pengusahaan pariwisata juga belum nampak adanya pemerataan pengetahuan tentang keharusan menggunakan tenaga setempat. Meski belum adanya pemerataan pengetahuan, tenaga setempat telah diterima lebih banyak dari tenaga luar (51,57 %). Boleh jadi faktor utama penyebabnya karena kebetulan usaha itu ada dipedesaan. Faktor kebetulan itu bisa dilihat dari tipisnya prosentase kelebihan 50 % yakni hanya 1,57 % (51,5 % - 50 %). Jika dilakukan sosialisasi yang lebih serius diperkirakan kelebihan 1,57 % itu akan bisa meningkat.

Dari segi partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan cukup menggembirakan karena masyarakat telah berani mengajukan protes atau keberatan terhadap usaha pariwisata yang merugikan lingkungan (terutama lingkungan sosial). Protes itu diajukan baik saat akan didirikan perusahaan maupun setelah perusahaan itu beroperasi.

Namun dari segi dukungan aparat pemerintah dalam rangka implementasi asas manfaat belum menggembirakan. Masih terdapat pelayanan pemberian ijin usaha yang tidak lancar. Beberapa sebab ketidak lancaran itu menurut responden antara lain syarat ijin terlalu sulit, biaya ijin terlalu tinggi, prosedur dinilai berbelit-belit, dan lain-lain.

Dalam menganalisis keunggulan potensi lingkungan Bali didapatkan bahwa telah terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap daya dukung lingkungan khususnya terhadap pantai dengan munculnya beberapa kasus lingkungan di pantai antara lain (1) terjadinya pencemaran lingkungan, (2) abrasi, (3) pemanfaatan secara berlebihan, dan (4) masalah sosial/budaya. Hal ini akan menyebabkan potensi unggulan sumberdaya lainnya yang memiliki potensi keunggulan yang spesifik seperti keindahan panorama, daya tarik budaya, serta potensi aktivitas ritual menjadi ikut dieksploitasi. Hal ini juga disebabkan oleh masing-masing kabupaten berlomba-lomba meningkatkan PAD masing-masing. Alam lingkungan dan budaya terexploitasi dengan alasan tersebut. Namun dengan memberdayakan masyarakat lokal di bidang pariwisata, maka rendahnya pendapatan dari pajak yang bersumber dari industri pariwisata akan terkompensasi dengan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat lokal dengan mengembangkan pariwisata pedesaan serta memberikan prioritas paket-paket program pemerintah ke wilayah tersebut secara nyata.

V. PRAKTEK PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG ADA

Berdasarkan pengamatan terhadap praktek pengembangan pariwisata yang ada di Bali yang telah berjalan, dapat diuraikan beberapa hal yang dapat dijadikan tolok ukur untuk mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat dan budaya lokal, diantaranya:

1. Kandungan impor oleh industri pariwisata hanya sebesar 12-21%, namun ada beberapa komoditi yang mempunyai kandungan impor di atas 50% terutama komoditi pertanian, peternakan, perikanan dan bahan olahannya.

2. Masyarakat lokal paling banyak jumlahnya yang terserap dalam industri pariwisata terutama hotel, restoran dan atraksi pariwisata, namun hanya sedikit yang menduduki posisi pimpinan. Salah satu sebabnya adalah tenaga kerja lokal terlalu sibuk dengan urusan domestik (keluarga, upacara dan adat).

3. Respon masyarakat lokal sangat “welcome” kepada penduduk pendatang, namun jumlahnya sebaiknya di atur dan tidak terlalu banyak, karena masyarakat lokal sudah merasa terusik dengan meningkatnya kriminalitas dan keamanan desa wisata sudah mulai terganggu.

4. Respon wisatawan sangat positip terhadap desa wisata, namun ada beberapa respon negatip yang seharusnya diantisipasi dengan segera, karena informasi desa wisata tersebut paling banyak sumbernya dari teman atau keluarga yang sebelumnya sudah pernah berkunjung ke daerah tersebut.

5. Dasar pengembangan pariwisata ke depan adalah mengutamakan potensi ecotourism yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten, tanpa mengganggu ke aslian alam itu sendiri.

6. Belum terdapat sinkronisasi antara PerDa tentang kepariwisataan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam materi yang sama.

7. Belum adanya pemerataan pengetahuan dikalangan fungsionaris desa mengenai peraturan perundang-undangan tentang kepariwisataan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penerapan asas pelestarian lingkungan.

8. Belum adanya pemerataan pengetahuan dikalangan pengusahaan pariwisata mengenai keharusan menerima tenaga kerja setempat (kasus Bali: sesuai PerDa No.8/1999)

9. Belum terwujudnya pelayanan yang memuaskan dikalangan aparat dalam pengeluaran ijin usaha kepariwisataan. Hal ini kurang mendukung penerapan asas menfaat terutama dalam peningkatan kesempatan berusaha dan peningkatan kesempatan bekerja.

10. Belum adanya sangsi yang termuat di dalam kebijakan kepariwisataan bagi pelanggarnya, sehingga masyarakat lokal belum terlindungi haknya.

11. Ada empat pedoman pariwisata kerakyatan yang bisa dijadikan model dalam pengembangannya ke depan yaitu (1) skala kecil, (2) kandungan impor rendah, (3) pemberdayaan masyarakat lokal dan (4) bisnis yang ramah lingkungan. Model tersebut akan terimplementasi dengan baik, kalau ditunjang dengan kebijakan yang memihak kepada masyarakat lokal.

VI.MODEL PARIWISATA KERAKYATAN

Upaya mewujudkan pengembangan pariwisata berbasis budaya dan masyarakat lokal di Indonesia dapat dilakukan dengan mengembangkan model yang dapat dijadikan acuan sesuai dengan potensi dan keunggulan masing-masing daerah. Beberapa indikator model pariwisata kerakyatan antara lain:

1. Berskala kecil.

Pengembangan pariwisata skala kecil dapat dilakukan agar masyarakat lokal lebih banyak bertindak sebagai pimpinan dan menentukan arah kebijakan pariwisata pada bisnis pariwisata yang dikembangkan. Disamping itu, dari segi permodalan, masyarakat lokal lebih bisa menjangkau bisnis skala kecil tersebut. Ini berarti bahwa industri pariwisata yang memerlukan lahan luas, dimana masyarakat lokal diharuskan untuk melepaskan tanah leluhurnya untuk fasilitas pariwisata sebaiknya dievaluasi, karena manfaatnya untuk masyarakat lokal tidak berkesinambungan. Kebijakan ini hanya dinikmati masyarakat lokal dalam jangka waktu pendek.

2. Kandungan impor yang rendah.

Bisnis pariwisata yang berskala kecil, mempunyai kandungan impor yang rendah. Kandungan impor rendah berarti bahwa pendapatan pariwisata tidak terlalu banyak bocor ke luar negeri. Menurut Bank Dunia kebocoran devisa pada negara yang sedang berkembang pada industri pariwisata sebanyak 55%, bahkan 60% di Thailand. Penyebab kebocoran devisa ini adalah (1) investasi asing di bidang perhotelan dan sektor lainnya di industri pariwisata, (2) management fees, (3) franchise fees, (4) bantuan tehnologi, (5) barang impor dan (6) biaya promosi ke seluruh dunia (Mathieson and Wall, 1990).

3. Meningkatkan peran masyarakat lokal.

Dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam mengembangkan industri pariwisata akan mempunyai banyak keuntungan. Keterlibatan secara aktif masyarakat lokal, maka rasa memiliki akan pariwisata tersebut tumbuh di hati masyarakat, sehingga sustainable tourism development bisa dicapai, baik dari segi penjagaan budaya lokal maupun alam yang lestari. Tanah leluhur masyarakat tidak berpindah tangan ke investor lain, sehingga keresahan generasi penerus tidak terjadi.

4. Pengembangannya ke arah pemanfaatan potensi keindahan pemandangan alam, dengan tidak memberikan peluang kepada pembangunan fasilitas penunjang pariwisata (hotel dan restauran) ke wilayah pantai, daerah konservasi, hutan lindung, dan kawasan danau.

Model tersebut akan bisa berjalan baik kalau didukung dengan kebijakan yang memihak masyarakat lokal, dan perlu tersosialisasi ke aparat pemerintahan yang paling bawah dan kepada masyarakat pedesaan. Model kebijakan yang sesuai dengan pariwisata kerakyatan adalah kebijakan yang mengandung azas manfaat, azas keterpaduan, azas kelestarian lingkungan dan azas peran serta masyarakat (partisipatoris). Azas tersebut akan terimplementasi dengan baik jikalau penegakan hukum ditegakkan secara benar termasuk sangsi yang jelas bagi pelanggarnya.

Daftar Pustaka

Cater, E. (1994). “Product or Principle? Sustainable ecotourism in the Third World: Problems and Prospects. The Rural Extension Bulletin. 5 August 1994.

Cochrane, J. (1994). “Beyond the Green Bandwagon”. The Rural Extension Bulletin. Series Number: 5 August. pp. 11-16

Colman, D. and Nixson, F. (1978). Economic of Change in Less Developed Countries. Second Edition. University of Manchester.

Dharma Putra,K.G., 2005, Memilih Strategi Penerapan Orientasi Masyarakat Dalam Tri Hita Karana, dalam Green Paradise, Denpasar.

Dharma Putra,K.G.,2007, Implementasi THK dalam Lingkungan Hidup Realitas, Harapan dan Rekomendasi Kebijakan, dalam Bali Is bali Forever, Denpasar.

D’Amore, L. (1988). “Tourism: The World’s Peace Industry”. Journal of Travel Research. Vol. 27. pp. 35-40.

Embacher, H. (1993). “Marketing for Agrotourism in Austria: Strategy and Relation in a Highly Developed Tourist Destination”. In Bramwell, B. and Lane, B. (Editors) Rural Tourism and Sustainable Rural Development. Proceeding of the Second International School on Rural Development, 28 June- 9 July 1993, University College Galway, Ireland.

Hawaii: Paradise Lost”. (1993). Journal of Travel Research. Vol.327. pp. 32-33

Javari, J. (1987). “On Domestic Tourism”. Journal of Travel research. vol. 25. pp. 36-38.

Mathieson, A. and Wall, G. (1990). Tourism. Economic, Physical and Social Impacts.

McCarthy, J. (1994). Are Sweet Dreams Made of This?. Tourism in Bali and Eastern Indonesia.

McSwan, D. (1997). The Roles of Government in the Development of Tourism as an Economic Resource. Proceeding of the Seminar Held at Townsville 1st October 1987. James Cook University of North Queensland.

Parining, N. (1998). The Extent to Which Balinese Vegetables Farmers are Able to Meet the Demands of Local Tourist Hotels for Fresh Vegetables. Master Thesis. Curtin University of Technology. Australia

Pitana,IG,2008, Membalik Ombak: Pariwisata Dan Industri Budaya Sebagai Wahana Pengelolaan Kebudayaan Bali ,Jakarta.

Pendit, N. S. (1986). Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Pradnya Paramita. Jakarta.

Wahab, Salah. (1988). Manajemen Kepariwisataan. Pradnya Paraminta. Jakarta.

* Dr. Ketut Gede Dharma Putra,M.Sc. adalah Staf Pengajar di Universitas Udayana, tinggal di Jl. Gutiswa No 24 Denpasar Bali, e-mail: kgdharmap@telkom.net, Tel/Fax.0361 467712, 08123970922.